(Naskah ini dipersiapkan menyahuti Undangan Efendy Naibaho untuk sebuah FGD Terbatas Untuk menyikapi statemen Luhut Binsar Panjaitan tentang Danau Toba, Jumat 23.11.18 di Pangururan).
Oleh: Shohibul Anshor Siregar, Surya Darma Dalimunthe & Afrilia Surya D
INTISARI
Tuntutan pembangkitan atau pemulihan martabat manusia sebagai bagian integral dari kewarganegaraan dalam sistem demokrasi, termanifestasi dalam bentuk populisme dan politik identitas.
Tanpa menyertakan penghargaan dan peningkatan martabat manusia, pembangunan akan selalu sulit beroleh hasil sesungguhnya, apapun retorika yang digunakan. Begitu juga dengan pengembangan Danau Toba, akan berpeluang hanya menjadi arena eksploitasi manusia kuat kepada yang lemah.
1 Pengelolaan Danau Toba di mata pemerintah saat ini bersifat istimewa. Menurut bunyi Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2016 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba, menyusun master plan pengembangan pariwisata Danau Toba adalah salah satu tugas penting yang diembankan oleh Peraturan ini kepada Badan Otoritas yang dibentuk.
Untuk menyukseskan penyusunan ini digunakan dana hibah dari World Bank. Master plan ini ditargetkan rampung pada 2017 mendatang. Sinergitas dengan SKPD di setiap pemda sekawasan Danau Toba, terutama dalam membangun infrastruktur, diperlukan.
Satu hal yang sangat istimewa bahwa Badan ini mengelola kawasan pariwisata terintegrasi di lahan seluas 500 hektar. Lahan ini berada di Desa Sibisa, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir yang nanti akan menjadi seperti Nusa Dua di Bali, Monaco of Asia, dan lain-lain.
Badan Pelaksana Otorita Danau Toba yang telah dilantik Menteri Pariwisata RI pada akhir November 2016 di Jakarta itu akan mengemban tugas selama lima tahun masa kerja dan dapat diperpanjang. Di dalamnya ada organ Dewan Pengarah yang sesuai pasal 4 tugasnya adalah menetapkan kebijakan umum, memberikan arahan, melakukan pengendalian dan pembinaan terhadap pelaksanaan kebijakan pengelolaan, pengembangan dan pembangunan kawasan pariwisata Danau Toba. Juga mensinkronkan kebijakan kementerian/lembaga, dan pemerintah daerah mengenai pengelolaan, pengembangan dan pembangunan kawasan pariwisata Danau Toba.
Memberikan petunjuk pelaksanaan kepada Badan Pelaksana mengenai pengelolaan, pengembangan dan pembangunan kawasan pariwisata Danau Toba sesuai dengan kebijakan umum Pemerintah Pusat dam Pemerintah Daerah. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan, pengembangan dan pembangunan kawasan pariwisata Danau Toba yang dilakukan oleh Badan Pelaksana.
Anggota Dewan Pengarah terdiri dari Mendagri, Kepala Bappenas, Menkeu, Menteri LH dan Kehutanan, Kepala BPN, Menteri PU dan PR, Menhub, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri ESDM, Menaker, Menpan RB, Kepala BKPM, Seskab dan Gubernur Sumatera Utara. Tugas dan tata kerja Dewan Pengarah ini masih akan diatur dalam Peraturan Menko Kemaritiman. Dewan ini nantinya akan dilengkapi sekretariat dan bisa dibentuk Kelompok Ahli.
GERAKAN REVOLUSI MARTABAT2 SEBAGAI FENOMENA DUNIA
Di berbagai belahan dunia, mungkin Indonesia akan sedikit beroleh pengecualian, martabat manusia telah menjadi pusat perhatian3.
Ilmuan seperti Fukuyama dll, memiliki penjelasan atas fenomena ini. Bagaimana mereka bisa menyimpulkan demikian – bahwa martabat manusia merupakan faktor utama dalam kemunculan fenomena populisme dan politik identitas?
Penjelasan paling komprehensif tentang martabat manusia dapat ditemukan pada karya-karya Myres McDougal (1906-1998), yang membagi martabat manusia kepada 8 unsur:
Kekuasaan; Kecerdasan Keahlian; Kehormatan; Kejujuran; Kecintaan; Kekayaan, dan; kesejahteraan.
UNSUR MARTABAT DAN CONTOH-CONTOHNYA
Meski sesungguhnya sangat luas, dan jika mengacu kepada kajian karya – karya Myres McDougal (1906-1998), paling tidak terdapat 8 unsur, namun dalam contoh yang akan disebut berikut ini sengaja dibatasi menyangkut konsekuensi defisit martabat dengan kesejahteraan dan kekayaan.
2 Dalam bahasa Inggeris kamus lazimnya menyebut dignity.
3 Di Tunisia dan Ukraina, rakyat menuntut martabat sampai menggulingkan rezim pemerintahan yang ada. Tuntutan ini dinamakan dengan „Revolusi Martabat‟! Di Brazil, baru-baru ini dipilih presiden yang unggul karena populisme dan politik identitas. Di „Barat‟ (negara-negara dengan mayoritas warga kulit putih), muncul fenomena populisme dan politik identitas: Rakyat Inggris memilih keluar dari Uni Eropa (Brexit). Rakyat Amerika memilih Donald Trump sebagai presiden. Popularitas partai-partai dan gerakan „kanan‟ (ciri utamanya antiimigran) di seluruh Eropa (Barat, Timur, bahkan Skandinavia). Slogan Australia First di parlemen Australia (sebagaimana America First di parlemen Amerika).
Tentu saja masing-masing dari unsur-unsur martabat lainnya (kekuasaan, kecerdasan, keahlian, kehormatan, kejujuran, dan kecintaan) tetap dengan mudah dibuat daftar panjang dengan menginventaris fakta-fakta di sekitar kita.
Defisit M artabat T erkait Kesejahteraan . Mari kita perluas pandangan dari data global tentang ini, di antaranya:
Menderitanya manusia karena penyakit dan kelaparan; Tingkat kematian yang tinggi dan harapan hidup yang rendah; Seringnya terjadi kematian akibat kekerasan; Tidak cukupnya penjaminan keamanan, kesehatan, dan kenyamanan; Tidak sehatnya pertumbuhan psikosomatis akibat malnutrisi; Berulangnya penyebaran penyakit menular; Tingginya orang-orang yang berpenyakit mental dan emosional; Kekhawatiran tinggi akibat ancaman kekerasan dalam skala besar dan kecil; Tidak memadainya layanan kesehatan, terutama untuk orang cacat dan tua; Kondisi perumahan yang buruk dan penuh sesak; Kehancuran lingkungan yang mengancam keberlangsungan manusia (ekosida); Akses yang tidak setara akan manfaat kedokteran modern; Ketidakmampuan untuk mengantisipasi dan menghadapi bencana alam; Ketidakmampuan komunitas untuk mencapai kesejahteraan.
D e fisit M artabat T erkait Kekayaan . Meski kerap semua kondisi buruk tentang kekayaan, pengelolaan dan kesenjangan seolah dapat ditutupi dengan paparan grafis oleh lembaga-lembaga kompeten skala lokal, nasional dan internasional, namu fakta-fakta yang dirasakan oleh manusia lebih jujur berbicara tentang realitas:
Meluasnya kemiskinan;
Tidak adanya gaji rakyat (basic income) dan jaminan sosial; Penikmatan manfaat barang dan jasa tidak sesuai dengan kontribusi; Pengangguran massal; Keterbatasan kebebasan dalam mencari dan berganti pekerjaan; Keterbatasan membentuk organisasi terkait pembentukan dan pembagian kekayaan (contoh: keterbatasan membentuk serikat pekerja); Kesenjangan distribusi kekayaan; Konsentrasi kekayaan berlebihan pada segelintir pihak; Penggunaan sumber daya tanpa mempedulikan generasi masa depan;
IMPLIKASI UNTUK DUNIA DAN INDONESIA
Seperti yang bisa dilihat di seluruh dunia, kekurangan atau defisit martabat sebagaimana dipaparkan sebelumnya sudah lebih dari cukup sebagai syarat untuk terjadinya gerakan politik penggugatan atas kemapanan dan hegemoni serta rezim yang berdiri dibalik keadaan buruk itu, atau munculnya fenomena politik identitas dan populisme yang bertujuan mengalter kemapanan untuk mengembalikan martabat manusia.
Para intelektual dan ilmuwan kritis di Barat pun memfokuskan kepada solusi-solusi yang bisa mengembalikan martabat manusia. Solusi paling utama terletak pada perjuangan mengganti paradigma neoliberal yang dianut hampir semua rezim pemerintahan di dunia dalam merumuskan kebijakan-kebijakannya. Inti dari perubahan ini adalah pengembalian kedudukan negara sebagai pengatur pasar dan pemodal, bukan seperti sekarang, negara lebih banyak diatur pasar dan pemodal. Negara tunduk pada dikte modal, dan dengan demikian merasa tak berdosa menelantarkan orang.
KEBUDAYAAN DAN CITA-CITA MANUSIA MODERN BATAK
Setiap masyarakat di dunia ini, terlepas bagaimana antara satu dan lain memiliki keunggulannya masing-masing, tetapi tidak terlepas dari kesamaan yang bersifat universal. Banyak kajian yang menyatakan unsurunsur kebudayaan yang pasti ada pada semua masyarakat terdiri dari:
Bahasa; Sistem mata pencaharian; Sistem peralatan hidup; Sistem ilmupengetahuan; Sistem kemasyarakatan dan organisasi; Sistem religi; Sistem aestetika dan kesesian.
Seberapa pesimis orang Batak menjadi dirinya hingga kerap bersikap self hating Batak (mengutuk dirinya sendiri) dan karena itu secara langsung atau tidak langsung kerap tak menyadari pikiran dan tindakannya justru amat destruktif terhadap Batak sebagai sebuah unititas. Pengalamanpengalaman yang dikisahkan oleh teori-teori modernisasi dalam studisosiologi dunia ketiga (Spivak, 1983; Schoorl, 1988; Edward Said,
1993; Hoogvelt, 1995 dan lain-lain) menunjukkan tragedi hegemoni menghancurkan aset paling berharga dari sebuah unititas budaya lokal.
Secara linear orang kerap menganggap bahwadirinya adalah manusia paling terbelakang dalam struktur global, sehingga apa saja yang berada dari luar adalah hal terbaik untuk diadopsi. Selama 350 tahunan Indonesia dijajah telah menghasilkan mentalitas yang amat bile tondi ini.
Peralihan kekuasaan politik dari penjajah kepada bangsa sendiri juga tak bermakna pemulihan cara pandang. Dalam bukunya Ganti Rezim Ganti Sistim (2016) Sri Bintang Pamungkas menyebut ada 4 faktor penyebab ketidak berhasilan Indonesia untuk bangkit, yakni penjajahan asing, dikte bangsa dan lembaga-lembaga asing (terutama donor), penjajahan oleh bangsa sendiri dan adanya kelompok kecil yang mendominasi hulu dan hilir ekonomi.
Bisakah dengan jalan minus apresiasi atas budaya lokal orang Batak di sekitar Danau Toba, misalnya, menjadi manusia modern (Inkeles, 1969)4 sesuai kriteria yang diberikan oleh para ilmuan ternama dunia? Pesimisme itu kerap terdengar dalam percakapan sinisme umum seperti “ papinda ma par Bali tu Tao Toba asa dipature halahi denggan, jala par Tao Toba marsonang – sonang patorushon haulion ni B ali ”. Ini sebuah keputusasaan yang mereproduksi perluasan keputusasaansetiap menit, jam, hari, bulan dan tahun.
Pesimisme yang lain yang kerap mengemuka ialah tuduhan bahwa orang Batak itu memiliki sifat buruk yang disingkat TEAL atau LATE. Padahal seluruh kelompok masyarakat dunia memiliki tacit cultur e yang tidak mudah terlihat dari luar dan yang lazimnya menjadi kekuatan dahsyat kelompok itu dalam menjalani hari-hari melalui mekanisme survival of the fittest yang keras.
Ekspresi luaran dari budaya kelompok memang akan segera terlihat oleh para musyafir yang tak selamanya memiliki motif yang baik hingga dengan semberono melabeli secara peyoratif kelompok masyarakat yang ditemuinya, sebagaimana dibantah oleh Alatas (1988) dalam bukunya “The Myth of the Lazy Native: A Study of the Image of the Malays, Filipinos and Javanese from the 16th to the 20th Century and Its Function in the Ideology of Colonial Capitalism”.
Dalam ambisi besar dunia ketiga yang diellem oleh negara-negara maju untuk menyamakan posisi dan kemajuannya mekanisme penjeratan modal adalah rumus yang lazim. Initidak terbatas di dalam industri dan perdagangan, bahkan mendikte secara politik dan budaya menjadi pilihan yang begitu mulus.
Banyak pengemuka dari dunia ketiga memilih menjadi komprador (Engin, 1974) dan menjadi sekrup kecil kapitalisme untuk memupuk ketergantungan dunia ketiga. Bencana ini justru semakin kuat setelah era globalisasi, baik secara kuantitatif maupun secara kaulitatif.
4 Menurut Alex Inkeles manusia modern itu memiliki karakteristik (a) Sikap menerima hal baru (b) Memiliki keberanian untuk berpendapat (c) Menghargai waktu dan berorientasi ke masa depan (d) Memiliki perencanaan (e) Percaya diri (g)Perhitungan (h)Menghargai harkat martabat orang lain (i) Percaya pada iptek (j) Imbalan harus sesuai dengan prestasi
Ketika menulis bukunya “The Uncertain Promise: Value Conflicts in Technology Transfer”, Dennis Goulet (1989) cukup mencengangkan masyarakat dunia. Namun belakangan orang telah sadar bahwa di dalam setiap paket bantuan dengan nama penghalusan apa pun selalu terdapat jerat mematikan.
Dalam duka tak terperikan, kini orang kembali mengenang Soekarno dengan doktrin Trisaktinya (Berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam ekonomi dan mandiri dalam budaya), namun kebanyakan hanya lantang menyebut dan meneriakkannya sebagai yel-yel politik yang justeru menjerumuskan.
PENUTUP
Agar negara berfungsi maksimal, yang dalam konteks Indonesia berarti mencapai cita-cita kemerdekaan (cth: memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa), diperlukan pendekatan berbasis revolusi martabat untuk kebijakan ekonomi.
Pengembangan Danau Toba yang mengindahkan atau memulihkan defisit martabat dapat dimulai dengan perubahan perspektif, antara lain harus bersifat Locally base, yakni memberdayakan masyarakat lokal.
Jika hanya ingin berbangga ria karena kemajuan material agregat modal yang tak menyertakan rakyat, Belanda pun dulu mampu melakukan itu. Itulah maknanya Indonesia merdeka.
Tentang Penulis:
Shohibul Anshor Siregar (Koord Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya („nBASIS); Surya Darma Dalimunthe adalah Penggagas Universal Basic Income Untuk Indonesia). Afrilia Surya D (Anggota Tim Penggagas Universal Basic Income Untuk Indonesia).