Thomson Hutasoit
Sekitar tahun 2006 lalu di Tabloid Vista Medan artikel ‘Transparansi Sebatas Retorika’ mengundang protes dari berbagai pemangku kekuasaan tentang pengelolaan anggaran, baik APBN maupun APBD.
Artikel itu didasarkan pada pasal 28 F UUD RI 1945, UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pada UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dikatakan, “Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara.
Pengelolaan keuangan negara menerapkan kaidah-kaidah yang baik, antara lain; akuntabilitas berorientasi pada hasil; profesionalitas; proporsionalitas; keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
Anggaran meliputi masukan (input), sasaran (target), keluaran (output), hasil (outcome) maupun dampak (Impeck) bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengelolaan negara atau pemerintahan terbuka dan transparan dipertegas kembali dengan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, PP No. 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, dll.
Huruf C UU No. 14 Tahun 2008 tentang KIP dikatakan, “Mewujudkan tata kelola negara yang transparan dan akuntabel”.
Ruang perselingkuhan, persekongkolan, persubahatan politik jahat selalu dilakukan di ruang ketertutupan karena akses publik ditutup rapat-rapat.
APBN dan APBD yang merupakan dokumen publik mulai dari penyusunan RKPD, KUA, PPAS, dan RKA-SKPD hingga penyusunan, penetapan, pelaksanaan serta pertanggungjawaban anggaran harus terbuka dan transparan sesuai perintah undang-undang.
Tapi anehnya, keterbukaan dan transparansi itu sering diabaikan tanpa alasan masuk akal. Bahkan APBN dan APBD masih ada pemangku kekuasaan mengkategorikan “rahasia negara”.
Ruang partisipasi publik seharusnya dibuka seluas-luasnya sebagai wujud akuntabilitas publik serta mewujudkan anggaran berkualitas. Akuntabilitas yang baik dan benar harus didasari Transparansi yang baik dan benar. Dan salah satu ciri pemerintahan demokratis adalah transparansi, partisipatif, akuntabilitas.
Ketertutupan terhadap kebijakan publik menimbulkan berbagai kecurigaan di ruang publik. Sebab, apabila tidak ada perlu disembunyikan atau menyimpang dari ketentuan perundang-undangan pasti tidak akan risih dengan keterbukaan dan transparansi tahapan-tahapan melahirkan kebijakan publik.
“Transparansi Sebatas Retorika” penyelenggaraan negara atau pemerintahan sudah saatnya ditinggalkan dan ditanggalkan demi mewujudkan good government and clean governance.
Salam NKRI……!!! MERDEKA…..!!!
Medan, 21 November 2019.
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP).