Oleh S Satya Dharma
Setelah lebih satu tahun menjadi Gubernur Sumatera Utara sejak dilantik bersama pasangannya, Musa Rajeckshah pada 5 September 2018, apakah yang sudah dilakukannya Edy Rahmayadi untuk memajukan seni budaya di provinsi ini?
Pertanyaan itu menarik dilontarkan ketika kita mereview kembali janji-janji yang pernah diucapkan Edy Rahmayadi sebelum jadi gubernur. Terutama saat ia, di depan puluhan seniman yang duduk “gelongsor” di tanah becek Kebon Binatang Medan pada 7 Februari 2016.
Pada pertemuan itu, Edy Rahmayadi yang saat itu masih menjabat Pangkostrad, bahkan menyebut seniman Sumut mandul. “Kenapa saya sebut mandul? Karena sampai sekarang tidak ada gedung kesenian untuk memamerkan segala hasil karya kesenian, sehingga tidak nampak lahirnya sebuah karya,” ujarnya waktu itu.
Kini Edy Rahmayadi sudah jadi gubernur. Ia bahkan sudah lebih setahun menduduki jabatan tersebut. Tapi sudahkah Sumut punya gedung kesenian? Ternyata belum. Bahkan satu-satunya gedung kesenian yang ada di Sumut, yakni Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) di Jalan Perintis Kemerdekaan Medan, kabarnya malah akan diambil Pemko Medan karena lahan dimana gedung TBSU itu berdiri memang milik Pemko Medan.
Lantas? Untuk jangka waktu yang lama, seniman Sumut tampaknya akan tetap mandul jika ukurannya, seperti kata Edy Rahmayadi, tak punya gedung kesenian. Malahan kalau TBSU benar-benar diambil Pemko Medan, maka jangankan gedung untuk memamerkan karya, bahkan lahan untuk tempat berdirinya gedung itupun Sumut tak punya. Miris!
Benar, UU 32/2004 memberi hak otonom kepada pemerintah kabupaten/kota untuk melaksanakan sendiri pembangunan di daerahnya, tak terkecuali pembangunan seni dan budaya. Tapi hak otonom itu tidak lantas menafikan keberadaan dan peranan pemerintah provinsi. Terutama karena pemerintah provinsi adalah jembatan penghubung utama antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Sayangnya, dalam banyak kasus, peran pemerintah provinsi sebagai jembatan ini seringkali diabaikan oleh para gubernur, tak terkecuali oleh gubernur Sumatera Utara.
Sampai kini gubernur Sumut bahkan masih berkutat pada soal-soal internal birokrasi seperti tukar menukar kursi (rotasi) para pejabat di struktur pemerintahan. Akibatnya janji-janji kampanye yang dulu dilontarkannya untuk membawa rakyat Sumut agar tidak bodoh, tidak sakit dan tidak lapar, belum juga terwujud. Belum ada tanda-tanda kapan janji-janji itu bakal dipenuhi.
Terhadap pembangunan seni budaya, kondisinya jauh lebih menyedihkan lagi. Aktivitas seni budaya belum juga mendapat sentuhan serius. Yang dilakukan Disbudpar Sumut sebagai kepanjangan tangan gubernur, melulu aktivitas berbau pariwisata. Pembangunan seni budaya dalam arti yang sesungguhnya, yang bisa mencerahkan, yang bisa memajukan peradaban, yang bisa mensejahterakan seniman, belum mendapat perhatian.
Stakeholder yang Diabaikan
Dalam konteks pembangunan kesenian dan kebudayaan, seniman, budayawan dan penggiat kesenian sejatinya adalah stakeholder utama yang harusnya dirangkul dan didengar. Seniman adalah pihak yang mestinya dilibatkan dan diajak ikut bertanggungjawab terhadap pembangunan dan perkembangan kehidupan kesenian dan kebudayaan di propinsi ini. Pertanyaannya sekarang; Apakah pelibatan seniman demi pembangunan seni budaya itu sudah dilakukan pak gubernur?
Jawabannya pasti; Belum! Sejak dilantik sampai hari ini, kita belum mendengar dan melihat gubernur Edy mengumpulkan para seniman, budayawan, penggiat seni dalam satu ruangan. Berbincang dan berdialog sebagaimana ia – belum lama berselang – mengumpulkan para abang beca di rumah dinasnya, atau mengundang para akademisi atau wartawan ke ruang kerjanya.
Sejauh ini seniman, budayawan, penggiat kesenian di Sumatera Utara masih merupakan stakeholder yang dilupakan. Seniman itu ada, banyak jumlahnya, berapi-api kreativitas, namun keberadaannya belum dianggap penting oleh gubernurnya. Nyaris setiap minggu ada kegiatan di Taman Budaya Sumatera Utara yang kabarnya sebentar lagi bakal diambil alih Pemko Medan. Tapi setiap minggu itu pula kita tak melihat satu pun pejabat Pemprop. Sumut yang hadir di sana, bahkan sekedar untuk menyaksikannya.
Pertanyaan berikutnya; masih pantaskah kita berharap pada gubernur Edy di sisa jabatannya yang masih berbilang tahun lagi? Jawabannya tentu saja masih pantas. Asalkan dengan sejumlah persyaratan. Antara lain; gubernur Edy harus bersedia membuka ruang dialog dengan semua seniman, budayawan dan penggiat seni yang ada di Sumatera Utara. Bukan hanya mereka yang bertempat tinggal di Medan, tapi juga dengan para seniman, budayawan dan penggiat seni yang ada di 33 kabupaten/kota.
Pak Edy harus mulai “serius” memikirkan keberlangsungan hidup seniman serta aktivitas kesenian dan kebudayaan di provinsi ini. Termasuk menerangjelaskan Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) dinas terkait yang membidangi seni budaya serta Unit Pelaksana Tugas (UPT) yang berada di bawah dinas tersebut. Selama ini kita tidak merasakan adanya tupoksi itu, sedang dinas terkait lebih sibuk mengurusi pariwisata.
Sebagai gubernur, pak Edy seharusnya lebih peka menangkap aspirasi rakyatnya, tak terkecuali aspirasi para seniman. Bukan sebaliknya, malah membiasakan diri melontarkan jawaban-jawaban yang seringkali terkesan justru mendegradasi wibawanya.
Karena itulah, agar seniman Sumut tidak terus mandul sebagaimana yang pernah dinyatakannya di Kebon Binatang dulu, adalah baik jika Pak Edy, sebagai gubernur dan pemimpin daerah, mau mendialogkan program prioritasnya dalam pembangunan Sumatera Utara dengan para seniman, budayawan dan para penggiat kesenian.
Mau dibawa kemana sesungguhnya seni budaya Sumatera Utara ini? Cukupkah kita cuma mengelus-elus kejayaan masa lalu dalam peradaban leluhur hanya dalam acara-acara seremonial belaka? Ataukah kita perlu mengembangkannya, meneguhkokohkan akar seni budaya itu pada generasi muda, dan menjadikannya sebagai pencerah kehidupan bersama di masa depan? Atau kita memang tidak perlu melakukan apa-apa, lalu membiarkannya begitu saja seperti keadaannya sekarang ini?
Adalah patut kalau Pak Edy, sebagai gubernur, mau mengoreksi kembali visi dan persepsinya tentang orientasi pembangunan seni budaya di Sumatera Utara. Bahwa pembangunan seni budaya sesungguhnya sama penting dengan pembangunan di sektor lainnya. Dengan demikian “tudingan” seniman Sumut mandul seperti yang pernah dilontarkannya tiga tahun lalu, tidak malah jadi semacam “kutukan” hingga ia tak lagi jadi gubernur, nantinya. Semoga! (*)