Jakarta – fnews – Sudah berbulan-bulan, para seniman yang tergabung dalam Forum Seniman Peduli TIM melakukan aksi silent movement sebagai bentuk penolakan terhadap PT J yang akan mengelola Taman Ismail Marzuki (TIM) selama 28 tahun setelah revitalisasi (Pergub 63 tahun 2019).
Para seniman dan budayawan di beberapa daerah Indonesia bahkan WNI yang berada di luar negeri (Belanda, Belgia, Jerman, Austria, Canbera Australia, Portugal, Amerika, Inggris, Swedia, Malaysia dan Taiwan) turut memberikan dukungan terhadap gerakan #saveTIM dari Forum Seniman Peduli TIM untuk menolak rencana berdirinya hotel di Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki.
Mereka mengirim video, foto-foto dengan slogan maupun foto menutup sebelah mata dengan tangan sebagai simbol perlawanan agar kesenian dan kebudayaan jangan dipandang sebelah mata. Ini menunjukkan bahwa Taman Ismail Marzuki bukan hanya milik seniman Jakarta, tapi sudah menjadi milik seluruh warga negara Indonesia yang patut dijaga kelestariannya sebagai situs cagar budaya.
Beberapa kali pertemuan, diskusi dan mediasi (oleh DPRD) antara perwakilan Forum Seniman Peduli TIM dengan Pemprov DKI dan pihak perusahaan sudah dilakukan. Namun hingga saat ini masih terus berlangsung pembongkaran seluruh area termasuk bangunan-bangunan utama di TIM oleh PT J. Penghancuran ruang kebudayaan dan ruang kreatif bagi seniman semacam ini adalah “Genosida Kebudayaan”. Salah satu aksi monumental yang telah dilakukan oleh Forum Seniman Peduli TIM adalah PERTUNJUKAN TERAKHIR di atas puing reruntuhan bangunan bersejarah Gedung Teater Graha Bhakti Budaya (Jumat, 14 Februari 2020).
Sebagai kelanjutan dari upaya mempertahankan marwah Taman Ismail Marzuki, Forum Seniman Peduli TIM akan melakukan “Rapat Dengar Pendapat Umum” dengan Komisi X DPR RI di Gedung Nusantara 1 pada hari Senin, 17 Februari 2020, pukul : 10.00 WIB. Kedatangan Forum Seniman Peduli TIM ke DPR RI akan disertai performing art yang dikoordinir oleh Mogan Pasaribu dan Exan Zen. Jurubicara yang mewakili adalah Radhar Panca Dahana, Noorca M. Massardi, Tatan Daniel dan Jhohannes Marbun.
Menurut Johannes Marbun kepada fnews, Minggu (16/2), hal paling penting yang akan disampaikan adalah pembacaan dan penyerahan “Tutuntutan Forum Seniman Peduli TIM” ke Komisi X DPR RI, yang isinya :
Kami Seniman, Budayawan dan Pekerja Budaya yang tergabung dalam Forum Seniman Peduli TIM, yang bekerja dan berkreasi di dalam kompleks Taman Ismail Marzuki sepanjang usianya, berdasar pada:
1. Tetap dipaksakannya pelaksanaan pembongkaran/pembangunan TIM yang didasarkan pada desain “Revitalisasi” dari Pemda DKI Jakarta walau sudah kami tolak dengan keras.
2. Tetap berlakunya ketentuan dalam Pergub 63 Tahun 2019 yang memberi wewenang pada J sebagai pengelola TIM selama 28 tahun mendatang.
3. Dinafikannya maksud dan misi dari Alm. Ali Sadikin, Gubernur DKI sejak 28 April 1966 – Juli 1977, pada saat mendirikan TIM sebagai “Rumah Ekspresi Seniman/Budayawan”
4. Dikhianatinya konstitusi kita, UUD ’45 Pasal 32 Ayat 1 yang berbunyi: ”Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”
Maka dengan ini, kami menuntut dengan keras:
a. Moratorium seluruh pembangunan/pembongkaran TIM oleh Pemda DKI yang dilaksanakan atas nama program “Revitalisasi TIM”.
b. Mencabut segera ketentuan tentang pemberian wewenang pada J sebagai pengelola TIM berapapun kurun waktunya.
c. Menghentikan segala bentuk revitalisasi – apapun terminologi yang digunakan – sebelum ada pembicaraan yang komprehensif dengan seniman/budayawan/pekerja budaya sebagai pemangku kepentingan.
d. Para pejabat negara/publik, baik di Pusat maupun Daerah, terutama DKI Jakarta, mengubah cara pandang mereka yang keliru dan menyesatkan tentang makna, peran dan fungsi Seni dan Kebudayaan dalam sejarah bangsa ini.
e. Memosisikan kembali kebudayaan sebagai pondasi dari pembangunan bangsa dan negara di seluruh dimensinya dan membangun infrastruktur yang dibutuhkannya sebagai obligasi konstitusional sekaligus sebagai investor bangsa.
Efendy Naibaho