PARIWISATA HALAL

Shohibul Anshor Siregar

Oleh Shohibul Anshor Siregar
Dosen FISIP UMSU. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS)

ANDA mungkin tak percaya, wisatawan Muslim tahun ini diprediksi akan membelanjakan US $ 220 miliar. Lepaskan ketidakpercayaan itu segera. Data sudah berbicara lain, di luar kesadaran Anda.

Bacaan Lainnya

Ibarat sebuah keniscayaan belaka, dan itu sesuai rumus pasar dan berbagai kondisi objektif lainnya, pariwisata halal itu tanpa begitu disadari telah menjadi kategori transaksi dan aktivitas bisnis yang berkembang begitu pesat dalam waktu relatif sangat singkat.  Hal itulah antara lain yang menyebabkan terjadinya perkuatan persepsi di banyak tempat di dunia ini untuk mengadopsi platform Muslim Friendly (ramah-Muslim).

Beberapa faktor yang jarang atau terlambat disadari sebagai penyebabnya, terutama oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia, antara lain ialah: pertama, pertumbuhan kelas menengah (middle class economy) yang terjadi di dunia muslim.

Kedua, Adanya pola adaptasi yang amat berbeda dengan kebutuhan wisatawan muslim di berbagai negara di dunia. Ketiga, keniscayaan mekanisme yang membentuk masa depan dengan teknologi. Keempat, inovasi yang secara kuat memengaruhi permintaan (demand).

Negara berkembang seperti Indonesia (pemerintah maupun pelaku industri kepariwisataan termasuk institusi yang ikut berpengaruh seperti media dan lembaga swadaya masyarakat) umumnya sangat terlambat menyadari fakta-fakta yang berkembang seperti keniscayaan belaka dalam kepariwisataan ini.

Akibatnya rezeki yang seakan bertabur sedemikian rupa gagal mereka fahami, apalagi untuk meraihnya. Padahal kesempatan untuk meraih keniscayaan perubahan kemakmuran itu sebetulnya terbuka lebar bagi mereka.
Bagaimana perkembangan transaksi dalam bidang kepariwisataan ini? Banyak data hasil studi akademis yang tersedia saat ini, yang pada umumnya tak satu pun di antaranya yang menaruh pesimisme atas trend pertumbuhan sektor pariwisata yang mendunia ini.

Menurut Indeks Perjalanan Muslim Global (GTMI) 2017 yang diproduksi oleh Mastercard dan CrescentRating, sebuah konsultan perjalanan ‘ramah halal’, jumlah pengeluaran pelancong Muslim yang diperkirakan meningkat menjadi US $ 220 miliar pada tahun ini antara lain didasarkan pada jumlah wisatawan Muslim yang bakal tumbuh menjadi 156 juta dari 121 juta pada 2016.

Dengan demikian isu tentang dunia muslim saat ini sebetulnya tak selalu didominasi isu negatif yang dirancang (oleh Barat) begitu mematikan seperti intoleransi, radikalisme, terorisme dan lain-lain. Sebagai komunitas penduduk dunia yang paling cepat tumbuh, populasi muslim dunia tak hanya menduduki posisi mayoritas saat ini. Tetapi juga menjadi faktor penting dalam keterbukaan dan peluang dalam ekonomi, tak terkecuali dalam industri pariwisata.

Dengan pertumbuhan kelas menengah dan pendapatan yang semakin meningkat, banyak negara (Muslim atau tidak) ingin menarik perhatian para pelancong ini. Malaysia, Uni Emirat Arab, Indonesia, dan Turki adalah beberapa destinasi Muslim terkemuka.

Tetapi banyak negara tidak mau ketinggalan dari peluang menggantang rezeki besar ini. Singapura, Thailand, dan Inggris Raya adalah beberapa dari destinasi non-Islam atau non-OKI (Organisasi Konferensi Islam) teratas saat ini.
Memang penduduk negara ini mayoritas Budha, meskipun dengan populasi Muslim yang cukup besar di selatan, tetapi suka atau tidak suka Thailand telah terbukti menjadi tujuan populer bagi umat Islam, terutama dari Indonesia, yang mencari liburan yang terjangkau dan makanan di negeri itu.

Sedangkan untuk Inggeris, pengeluaran Muslim diperkirakan akan meningkat menjadi US $ 4,1 miliar pada tahun 2020 meskipun telah terjadi lonjakan serangan Islamofobia setelah serangan teror baru-baru ini di London dan Manchester.

Wisata ‘halal’ adalah segmen pasar yang berkembang pesat, dengan turis Muslim pencari tujuan yang memenuhi kebutuhan mereka, dalam hal makanan, pakaian, atau ritual. Apa sih wisata halal itu? Diterjemahkan dari bahasa Arab, ‘halal’ berarti “diizinkan” sesuai dengan ajaran Islam. Alkohol, daging babi, ketelanjangan, dan judi adalah hal-hal terlarang.

Halal itu mengusung konsep tidak sebatas dibolehkan, namun syariah merewardnya berpahala jika dikerjakan. Sebaliknya yang haram adalah hal-hal terlarang bagi Islam yang jika dikerjakan akan mengundang dosa.
Halal adalah konsep dan terminologi hukum fiqh (Islam) yang menyangkut hidup dan pengabdian sehari-hari pemeluknya yang di Indonesia mereka menduduki posisi mayoritas.

Saat kemerdekaan jumlah mereka sekitar 95 %, dan menurut Sensus Penduduk 2010, hanya dalam kurun 65 tahun saja, telah mengalami penyusutan menjadi sekitar 87 %. Terlalu banyak variable yang harus dihitung untuk proyeksi persentase itu untuk tahun-tahun mendatang di Indonesia.

Menurut Fazal Bahardeen, CEO Crescent rating dan halal Trip, Indonesia berhasil merebut posisi teratas dalam indeks Mastercard-Crescent Rating Global Muslim Travel Index (GMTI) 2019 setelah sebelumnya berada di peringkat kedua. Posisi pertama itu digondol bersama dengan Malaysia, dengan skor 78.

Lalu sebuah pertanyaan mendasar muncul, yakni bagaimana beradaptasi dengan kebutuhan wisatawan muslim? Mengingat potensi sektor ini, penting bagi industri perhotelan untuk beradaptasi dengan perubahan persyaratan halal untuk memenuhi kebutuhan wisatawan Muslim. Menurut CrescentRating, hotel dan restoran setidaknya harus menawarkan makanan halal.

Inilah yang terbukti tidak selalu disikapi dengan baik oleh pemerintah dan para pelaku industri pariwisata. Pro dan kontra yang sangat tidak produktif justru menghilangkan kesempatan emas beroleh rezeki besar.
Padahal resepnya sangat mudah. Sebuah destinasi dipandang semakin menarik bagi para pelancong Muslim berdasarkan ketersediaan fasilitas sholat, kamar mandi ramah Muslim dan penawaran terkait Ramadhan. Sementara banyak bandara di dunia sekarang menawarkan makanan halal dan ruang sholat, beberapa masih kekurangan fasilitas cuci atau wudhu.

Wisata halal adalah bagian dari industri yang ditujukan untuk wisatawan Muslim seperti jaminan setiap produk dan jasa yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan para wisatawan muslim.
Ketentuan yang berlaku secara universal di seluruh negara menyebutkan indikator wisata halal menunjukan paling tidak 6 kebutuhan pokok, yaitu pertama, makanan halal. bebas alkohol, daging babi, dan sejenisnya. Kedua, tersedianya fasilitas ibadah. Ketga, kamar mandi dengan air untuk wudhu. Keempat, pelayanan saat bulan Ramadhan, misalnya santapan berbuka dan sahur. Kelima, pencantuman label non-halal apabila ada makanan yang tidak halal.Keenam, fasilitas rekreasi yang menjaga privasi, tidak bercampur-baur secara bebas.

Global Muslim Travel Index (GMTI) kemudian mengembangkan sebuah standar untuk Crescent Rating dengan gidentifikasi destinasi Ramah Keluarga, tujuan wisata harus ramah keluarga dan anak-anak, keamanan umum bagi wisatawan muslim, jumlah kedatangan wisatawan muslim yang cukup ramai, layanan dan Fasilitas di Destinasi yang Ramah Muslim (Muslim-Friendly), pilihan makanan yang terjamin kehalalannya, akses ibadah yang mudah dan baik kondisinya, fasilitas di bandara yang ramah muslim, opsi akomodasi yang memadai, kesadaran halal dan pemasaran destinasi, kemudahan komunikasi, jangkauan dan kesadaran kebutuhan wisatawan muslim, konektivitas transportasi udara dan persyaratan visa.

Bagaimana adaptasi teknologi untuk mendukung program yang akan mendatang uang besar itu? Tentu perlu investasi juga.

Sebagaimana “The Economist” katakan, sebuah laporan yang diterbitkan oleh “World Travel Market” di London, Inggris pada tahun 2007 juga menyebutkan hal sama bahwa potensi wisata halal sangat besar dari sisi ekonomi. Tak hanya berhubungan dengan produk halal (makanan atau minuman non-alkohol), namun juga layanan yang berhubungan dengan interaksi antara wisatawan laki-laki dan perempuan.

Wisata halal mendorong upaya untuk membentuk masa depan dengan teknologi. Bahwa selain agen perjalanan online atau Online Travel Agency (OTA) yang lebih tradisional seperti booking.com atau TripAdvisor, platform ramah-Muslim mulai bermunculan. Halalbooking.com misalnya, situs pemasaran yang berbasis di London untuk akomodasi wisata halal yang berharap beroleh pendapatan setidaknya 1 miliar pound akhir 2021.

Platform peer-to-peer juga muncul. Bookhalalhomes.com telah menjadi portal terkemuka dunia untuk penyewaan akomodasi halal. Ini membedakan dirinya dari Airbnb dengan menjamin layanan bersertifikat halal seperti makanan halal dan mushalla yang ditunjuk.

Aplikasi smartphone juga sedang dikembangkan. Otoritas Pariwisata Thailand telah meluncurkan aplikasi yang membantu pelancong Muslim menemukan produk dan layanan halal. Ini menyediakan informasi tentang waktu sholat, pilihan makanan, dan paket tamasya. Aplikasi lain, HalalTrip, menawarkan informasi terkait lebih dari 65 tujuan di seluruh dunia. Ini menghasilkan pendapatan dengan menjual paket wisata yang cocok, apakah itu menikmati Hiu Putih Hebat di Afrika Selatan, budaya dan sejarah di Spanyol, atau berbelanja di Dubai.

Dibandingkan dengan OTA Negara Barat yang lebih mapan, e-commerce pariwisata halal masih dalam masa pertumbuhan. Namun ini adalah pasar yang berkembang yang perlu dilayani. Teknologi akan terus membentuk pertumbuhan sektor ini dengan memungkinkan para pelaku bisnis perhotelan, pemilik restoran dan lainnya untuk menunjukkan kepekaan terhadap persyaratan halal.

Lihatlah. Meskipun telah terjadi lonjakan serangan Islamofobia setelah serangan teror baru-baru ini di London, Manchester dan di berbagai tempat di dunia, dalam perkiraan pasar yang teliti meyakini bahwa lonjakan arus wisatawan muslim tetap akan terjadi.

Semakin terasa iyu Islamofobia itu rancangan tangan-tangan yang menyudutkan umat Islam.

Inovasi sangat penting bagi wisata halal. Pertanyaan bagaimana inovasi memengaruhi permintaan akhirnya terasa begitu elementer karena itu memang sebuah prasyarat yang tak terhindari sama sekali.
Bayangkanlah, bahwa dengan pengeluaran para pelancong Muslim yang akan mencapai US $ 220 miliar tahun 2020, dan fakta populasi Islam sebagai agama paling cepat tumbuh di dunia, para wisatawan Muslim jelas merupakan populasi pelanggan terpenting pasar wisata kontemporer.

Kesadaran halal menjadi sangat penting. Bahwa ketika masalah keamanan dipenuhi, bersamaan dengan persyaratan halal, pariwisata dunia akan terus tumbuh, dengan didukung oleh faktor-faktor penarik seperti layanan yang ramah keluarga dan ramah Muslim.

Peta jaringan wisata halal kini mendunia dan maju pesat. Ini beberapa nama terkemuka pelakunya. NPO Japan Halal Association, Japan Muslim Association (JMA), Japan Halal Foundation (JHF), Jamiat Ulama I Hind Halal Trust, Jamiat Ulama Halal Foundation (India), Taiwan Halal Integrity Development Association (THIDA), Halal Certification Agency (Vietnam), Korea Moslem Federation (KMF), Halal Accreditation Council (Guarantee) Limited (HAC)-Sri Langka, Halal International Authority Gulf (Arab Saudi), Halal Development Institute of the Phillipines, INC.
Di Australia dan Selandia Baru ada Australian Federation Of Islamic Council (AFIC), Global Halal Trade Center (GHTC), Supreme Islamic Council of Halal Meat in Australia Inc. (SICHMA), The Islamic Co-ordinating Council of Victoria, Western Australia Halal Authority (WAHA), Asia Pacific Halal Services New Zealand PTY 2011 LTD, New Zealand Islamic Development Trust (NZIDT), The Federation of Islamic Association of New Zealand (FIANZ), Australian Halal Authority & Advisers (AHAA), Australian Halal Development &Accreditation (AHDAA) dan Global Australian Halal Certification (GAHC).

Di Amerika dan Amerika Latin ada America Halal Foundation (AHF), Halal Food Council USA (HFC USA), Halal Transaction of Omaha, The Islamic Food and Nutrition Council of America (IFANCA), Islamic Services of America (ISA), Federation of Muslim Association in Brazil (FAMBRAS), Islamic Dissemination Centre for Latin America (CDIAL), Halal Montreal Certification Authority, Islamic Food and Nutrition Council of Canada, Islamic Inspection Services SIIL, dan Islamic Center of the Argentine Republic.

Eropa sendiri telah memiliki Halal Certfication Services (HCS), Eurasia Halal Service Center, Halal Food Council Of Europe (HFCE), Halal Institute of Spain, Halal Quality Control (HQC), The Grand Mosque of Paris – SFCVH, The Muslim Religious Union of Poland, Total Quality Halal Correct Certification (TQHCC), The Muslim Food Board UK, Halal Feed and Food Inspection Authority (HFFIA), Halal Food Authority (HFA), Islamic Foundation of Ireland, HAFSA Halal Certification and Food Imp & Exp Ltd, KASCERT TURKEY, HFC Halal Turkey, Polish Institute of Halal (Polandia), Instituto de Halal Portugal, World Halal Authority (Italia).

Sedangkan di Afrika Selatan terdapat National Independent Halaal Trust (NIHT).

Di seluruh dunia kini banyak lembaga yang memiliki kewenangan mengurusi masalah halal. Menurut sejarahnya, sejak tahun 1999 lalu telah dibangun kesepakatan atas pendirian Dewan Makanan Halal Dunia (WHFC). Peran Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika (LPPOM MUI) tercatat sangat besar dalam upaya penting itu.

Karena itu, sesungguhnya model-model yang sedang diusahakan di Indonesia dengan penerbitan regulasi Jaminan ProdukHalal (JPH) sebagaimana diatur oleh UU Nomor 33 Tahun 2014 sudah tumbuh pesat menjadi bisnis multi-miliar dolar di seluruh dunia. Permintaan terus meningkat dan sekarang diterima secara luas karena memang produk bersertifikat halal itu secara substantif telah memenuhi standar internasional untuk keamanan konsumsi.

Memang ada kontroversi di dalam negeri, dan untuk menelaah lebih megakar hal ini harus diawali dengan peninjauan atas regulasi yang ada. Hal pertama yang segeramengemuka ialah political will. Setidaknya terdapat beberapa kealpaan besar Indonesia seputar penerbitan UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) itu.

Kehadiran UU itu terkesan seolah hanya dapat dinilai sebagai kemunculan sebuah tekad belaka yang di lain pihak kurangnya upaya civil society untuk mendorong dan bahkan menekan pemerintah untuk memenuhi kewajibannya secara jelas berkaitan dengan lemahnya posisi tawar saat ini juga tak dapat dipungkiri.

Misalnya, betapa terlambatnya Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Jaminan Produk Halal (JPH) baru dapat terbit pada tanggal 29 April 2019 (Nomor 31 Tahun 2O19). Akibat kekosongan pengaturan teknis UU JPH sama sekali belum dapat dikategorikan sebagai keputusan politik yang mengikat secara efektif, baik kepada penyelenggara negara maupun kepada rakyat.

Memang Peraturan Presiden Republik Indonesia No 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama telah menetapkan bahwa pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal termasuk dalam lingkup kedudukan, tugas, dan fungsi Kementerian Agama RI sebagaimana ditegaskan pada pasal 3 huruf h.

Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 94/TPA Tahun 2017 memang Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) secara resmi sudah memiliki pimpinan yakni Sukoso, seorang guru besar bidang kelautan dan bioteknologi perikanan padai Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya, Malang. Tetapi itu baru sebagian dari banyak hal yang diperlukan untuk mendorong efektifitas UU JPH.

Sejumlah pengaturan teknis yang diperlukan untuk melaksanakan UU JPH hadir sangat terlambat atau bahkan hingga kini masih belum tersedia secara lengkap. Misalnya tentang ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagaimana disebutkan pada pasal 5 ayat (5), model kerja sama BPJPH dengan kementerian dan/atau lembaga terkaitsebagaimana disebutkan pada pasal 11 yang memerlukan Peraturan Pemerintah.

Salah satu masalah yang kini jelas terlihat ialah bahwa kini jutaan jumlah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia yang wajib disertifikasi halal terutama pangan, obat, kosmetik dan yang lainnya diasumsikan sedang menantikan terbitnya Peraturan Menteri Agama (PMA) yang menjadi turunan UU JPH. Walaupun sebenarnya kriteria sertifikasi halal cukup sederhana, namun terdapat titik krusial yang harus dipahami.

Bagaimana dengan peran Pemerintah Daerah? Tiga daerah pengembangan wisata halal terkemuka di Indonesia saat ini ialah Nusa Tenggara Barat, Sumatera Barat dan Aceh. Apakah hal serupa dapat direplikasi di daerah-daerah lain di seluruh Indonesia?

Salah satu masalah yang kini jelas terlihat ialah bahwa kini jutaan jumlah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia yang wajib disertifikasi halal terutama pangan, obat, kosmetik dan yang lainnya diasumsikan sedang menantikan terbitnya Peraturan Menteri Agama (PMA) yang menjadi turunan UU JPH. Walaupun sebenarnya kriteria sertifikasi halal cukup sederhana, namun terdapat titik krusial yang harus dipahami.

Misalnya pelaku usaha yang memproduksi bahan baku yang berasal dari bahan yang diharamkan dikecualikan dari kewajiban mengajukan permohonan Sertifikat Halal. Itu menuntut pengaturan rinci tentu saja. Selain itu yang disertifikasi adalah bahan dan proses produksi. Sedangkan bahan baku masih akan diatur lebih lanjut daftarnya melalui penetapan Menteri Agama. Penetapan itu wajib berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia.

Setiap proses produksi memerlukan pemengujian. Begitu juga lokasi, alat produksi yang wajib terpisah dengan lokasi, tempat, dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk tidak halal. Kriterianya terdiri dari standar kebersihan dan higienitas, jaminan keterbebasan dari kontaminasi najis dan dari kontaminasi bahan tidak halal.

Jangan lupa, kesalahan yang dikategorikan sebagai tindak pidana menurut UU JPH diberi sanksi tegas atas sebagaimana dinyatakan pada pasal 56 (pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak dua miliar rupiah).

Sensitivitas subjektif tidak selalu menguntungkan untuk saat ini karena Indonesia sedang dibebani oleh kegairahan berkonflik atas nama rivalitas antar agama, diakui atau tidak. Tetapi sangatlah penting untuk diketahui secara baik bahwa setelah cukup alpa selama 7 dasawarsa lebih tak pernah berfikir bagaimana mengatur ketentuan perlindungan tentang Jaminan Produk Halal (JPH), ternyata setelah diundangkan baik pemerintah maupun rakyat terkesan sama-sama acuh tak acuh.

Padahal masalah ini sebetulnya menyangkut mayoritas umat beragama di Indonesia dengan hak normaifnya yang menuntut diakui, dihargai dan diindahkan. Jika gagasan ini dikaitkan dengan trend wisata halal dunia, benang merahnya demikian kental. Bahwa wisata halal itu tidak perlu over politisasi jika memang sektor wisata diposisikan sebagai sumber pendapatan penting untuk menjawab semakin langkanya sumberdaya ekonomi lainnya sembari memberi respon yang sepatutnya atas trend dunia.

Sumatera Utara tidak perlu terburu-buru menghadapi hal sensitif ini. Namun peran komunikasi politik sangat penting. Merujuk pada peristiwa-peristiwa penting menjelang pencoblosan pemilu serentak 2019, jejak digital beraroma negatif yang begitu sarat sebetulnya lebih dari cukup untuk menyadarkan para penggerak resistensi bahwa niat politisasi di balik wisata halal adalah sesuatu yang amat jauh dari pokok persoalan dan amat kontraproduktif bagi kebijakan serta partisipasi sosial dalam pembangunan kepariwisataan lokal dan nasional. ***

Pos terkait