Prokontra Pemakaman Berisi Tas di dalam Peti Mati

Ilustrasi

formatnews.id – Media sosial facebook, whatsApp, bisa saja media lainnya, pekan ini heboh dan viral karena adanya seorang pendeta yang menolak melakukan pemakaman terhadap seorang ibu gara-gara adanya sebuah tas yang dimasukkan ke dalam peti dan dikeluarkan lagi dari dalam peti.

Pertengkaran sengit pun terjadi dan sang pendeta meninggalkan acara pemakaman yang sudah akan dilakukan dengan penutupan peti mati. Tidak diketahui bagaimana ending pemakaman tersebut tapi yang pasti di dunia maya terjadi prokontra.

Bacaan Lainnya

Ada yang menuliskan dalam berbagai komentar utamanya di facebook. Yang menarik unggahan Berlian Tampubolon yang menuliskan viral pendeta HKBP tidak mau menguburkan jenazah gara-gara keluarga memasukkan tas kenang-kenangan ke dalam peti.

Berlian menyebut nama pendetanya, Pdt LS, Pdt Resort Ujung Menteng, Bekasi. Ribut gara-gara keluarga besar dapat pesan dari almarhumah untuk masukkan tas almarhumah berisi rokok ke dalam peti tapi Pendeta berprinsip lain. Akhirnya yang menguburkan dipanggillah Pdt dari GBI, luarbiasa.
Rosalina Siahaan, seorang aktifis wanita  di HKBP dan pemilik Mingguan Sentana yang di masa HKBP Bergolak setiap terbit mengupas tuntas intervensi ke huria itu menjawab formatnews menyatakan bahwa pendeta itu sudah belajar agama,  jadi sudah ada latar belakang secara agama Kristen yang ilmunya sudah dipelajari.

Di zaman Belanda, ujar Rosalina yang lama di Jakarta itu,  dalam acara kematan ikut menonton yang manortor orang meninggal di banned dari HKBP oleh pendeta asal Jerman. Nah,  kalau orang Kristen tidak usah terikat lagi dengan dunia ini baik hidup maupun mati. Di BE ada syair Tatadingkon Pe Luhutna Nadiatas Tano On l Sai dapot ta dilambungNa Hasonangan na tongtong. Judulnya,  Partangisan do hape anggo na di tano-on.

Lanjut Rukiah, yang diban itu ompungnya tetapi kemudian manopoti dosa, belajar kembali dan diangkat menjadi sintua, namanya Sintua Matias Siahaan.

Ada juga berpendapat, borat mambaen tanggapan, alana masalah keyakinan ni Pdt ido…. tulisnya menjawab pertanyaan formatnews yang minta tanggapan berbagai kalangan atas pertanyaan, pagi l mhn mengomentari video viral itu, Pdt yg menolak pemakaman krn tas utk dionlinen-kan di www.formatnews.id, silakan kirim komennya dan tambahkan sedikit bio data bpk ibu dan foto diri, tks www.formatnews.id pemred l efendy naibaho

Pendeta Saut Sirait STh, MTh, pendeta yang banyak menulis buku,  pendeta yang juga aktifis murni ini, menyatakan satu hal yang paling mendasar, fondasi dari semua hal dalam keyakinan Iman Kristen adalah: Yesus Kristus adalah Jalan Satu-satunya, Juru Selamat manusia dan alam semesta.  Itu Akta Kredo,  segenap orang yang percaya kepada Yesus.

Semua, lanjut Pendeta Saut, pernah juga menjadi Ketua Umum DPP Parkindo, hal lainnya harus tunduk pada Akta Kredo itu. Pertanyaannya; apakah keluarga itu menolak akta itu? Dan, yang lebih penting lagi: apakah sepanjang hidupnya, almarhumah menolak Akta Kredo? Bila tidak, maka agenda harus dilaksanakan.

Adanya tas dll. tidak bisa dan tidak mungkin dapat dikatakan menyamai, menyerupai apalagi melampaui Akta Kredo yang mampu menggugurkan anugerah keselamatan (Sola Gratia) dari Tuhan Yesus, ujar Pendeta Saut Sirait.

Siapa Pdt. Saut Sirait? Mungkin banyak yang belum mengetahui kiprahnya. Sejak lama ia melayani dan malang melintang di pelayanan sosial dan politik. Berbagai pemikirannya menarik dan bisa menjadi panduan untuk mengantarkan kita memahami arti panggilan hidup mengikut Yesus.

Pendapat lainnya yang dirangkum formatnews, dari Moshe Situmorang, pemerhati masalah sosial dan politik menyebutkan intinya: Pertama, dalam peristiwa kedukaan tidak semuanya itu urusan dan domain Gereja. Ada juga bagian keluarga, bagian adat dan juga keagamaan. Jangan sampai ada tumpang tindih yang akhirnya dianggap menjadi masalah.

Kedua, jika Pendeta menemukan ada yang perlu diluruskan, jangan dibuat menjadi masalah besar. Karena tugas utama pendeta adalah mendidik jemaat ke dalam kebenaran. Pekerjaan seperti ini kan butuh waktu, butuh kesabaran dan ketekunan hamba Tuhan. Boleh menasehati jemaat namun dengan sabar, bukan dengan emosi atau ketegasan yang tidak tepat waktu.

Yang Ketiga, pekerjaan hamba Tuhan adalah melayani. Pada jaman dahulu yang melakukan pelayanan adalah Budak. Dengan pemahaman seperti itu maka seorang pendeta besar atau pendeta kaya raya tidak boleh lupa bahwa dirinya adalah Hamba Tuhan yang dipercaya melayani umat TUHAN. Bagaimana kita melayani Tuhan yang tak kelihatan? Dengan cara melayani umat TUHAN yang kelihatan, demiikian Situmorang.

Gurgur Manurung, Jemaat GKI Gading Serpong dan aktif dalam Pelayanan Pendidikan, juga sudah menyertakan video klipnya yang menyejukkan dan mencerahkan. Sementara sebuah tayangan lain ada menyatakan :  Heboh! Proses Penutupan Peti, Keluarga Duka Membentak Pendeta, Karena Ini! Siapa yg salah?.

Kalau saya sebagai keluarga, tulis Aldrin P Simarmata , langsung saya kuburkan sendiri. Jika pola pikir pendeta menjadi masalah. Sebenarnya tidak harus Pendeta/Hamba Tuhan lainnya yang hanya bisa menguburkan orang Kristen yang meninggal.

Semua orang percaya dapat melakukan penguburan, karena kita adalah *Imamat Yang Rajani* tertulis dalam *_1 Petrus 2:9_* mengatakan demikian: Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib:

Kita adalah imamat yang Rajani. Artinya apa? Orang Kristen dipanggil sebagai imamat yang rajani. Sebagai imam, orang Kristen mempunyai *akses langsung kepada Allah*, selain bisa membawa orang lain kepada Allah. Dalam tradisi Yahudi, hanya imamlah yang bisa membawa korban persembahan orang-orang kepada Allah untuk penebusan dosa mereka.
Namun sejak orang Kristen diselamatkan oleh Yesus, hubungannya dengan Allah sudah dipulihkan dan ia mempunyai hak akses khusus kepada Allah. Hubungan seperti ini tidak dimiliki oleh orang-orang yang tidak berada dalam Kristus. Sebagai imam, orang Kristen harus mempersembahkan karyanya, penyembahannya dan bahkan dirinya sendiri kepada Tuhan sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Tuhan. Itulah ibadahnya yang sejati (Rm. 12:1).
Hanya permasalahan sekarang adalah para Hamba Tuhan, sering membawakan dirinya seperti suku Lewi pada PL, padahal dalam PB, kita semua adalah Immat yang Rajani, yang bisa melakukan tugas-tugas seperti itu.
Namun hal ini berkembang karena dari jemaat itu sendiri yang terlalu mengagungkan Hamba Tuhan (cq.Pendeta).
Dan sisi lain yang ditakuti adalah JIKA IMAMAT YANG RAJANI INI DITERAPKAN, MAKA PARA HAMBA TUHAN (CQ.PENDETA) TIDAK MENDAPAT TEMPAT LAGI DALAM TUGAS-TUGAS ROHANI. Oleh karena itulah diatur dalam aturan denominasi gereja masing-masing atas tugas dan tanggung jawab Pendeta.
Tanggapan Ch Robin Simanullang, jurnalis dan penulis buku Hita Batak A Cultural Strategy,  menolak melakukan sekramen pemakaman seorang ibu karena ada tas kenangan di dalam peti mati. Pertanyaannya: Apakah tas itu bersifat ritual-religius atau hanya sekadar tas kesenangan almarhumah? Jika bersifat ritual-religius seperti apa? Apakah lebih religius dari pemberian ulos saput adat tradisi Batak yang religius?
Pendeta itu mungkin menganut prinsip antagonistis atau oposisi (Christ against Culture) yang mempertentangkan tradisi dan adat Batak dengan Injil. Serta menyebut tradisi adat itu Sipelebegu. Pendeta itu tampaknya mewarisi pandangan antagonistis para misionaris pada zaman kolonial itu. Teologi kolonial yang mendistorsi Injil di Tanah Batak dan banyak negeri lainnya. Itulah tantangan Gereja-gereja Batak sampai hari ini.
Bagaimana membumikan Injil di Tanah Batak. Supaya orang Batak berbicara dengan lidahnya sendiri kepada Debata Jahoba Mulajadi na Bolon yang dikenal dalam nama Kristus dan persekutuan Roh Kudus. Saatnya para Pendeta gereja Batak memperdalam Teologi in Logo, berteologi di suatu lakus dalam konteks aktual. Atau setidaknya, Teologi post-kolonial. Hal ini menyangkut keberadaan Gereja Batak masa depan.
Sedang Roma Simare-mare, seorang sintua yang akan ikut di SG HKBP mendatang meminta bagaimana agar seorang pendeta lebih arif bijaksana lagi dalam tugas kesehariannya. Agar bisa menahan emosi seperti yang selalu disampaikan saat kotbah.

 

Bolehkah memasukkan barang-barang ke peti mati? Ini menjadi tanda tanya bagi Pirma Simbolon, seorang doktor yang aktif juga di media sosial. Kemarin beredar video sebuah keributan di acara duka, entah dimana lokasi kejadiannya kurang tau persis karena saya tidak berupaya untuk mengetahui lebih lanjut, karena saya anggap kejadian itu hanya kasuistik, bukan berlaku umum.

Namun karena seorang sahabat bung Efendy Naibaho meminta tanggapan saya, ya saya hargai dengan memberi respon sekedarnya meskipun saya bukan ahli soal dogma ajaran gereja dan bukan bidang saya.

Dalam tradisi Tionghoa, saat anggota keluarga meninggal, sering ke dalam peti jenazah dimasukkan barang-barang yang biasa dipakai orang yang meninggal, seperti baju, buku, kacamata, pulpen, tas, sepatu dan lainnya. Bukannya hanya Tionghoa. Hal seperti ini juga sering terjadi di keluarga orang Batak.

Menurut saya, lanjut dr Pirma, memasukkan barang-barang ke peti mati dapat dibenarkan sejauh itu merupakan ungkapan kasih (berbuat yang terakhir bagi yang meninggal), dan bukan sebagai bekal perjalanan di dunia menuju surga, atau karena kita takut diganggu oleh yang meninggal.

Sedangkan dalam ajaran Katolik kehidupan setelah mati adalah kehidupan roh. “Manusia tidak lagi kawin dan dikawinkan, melainkan hidup seperti malaikat di surga.” (Matius 22:30).

Harta yang dimiliki pun tidak dibawa serta, tetapi ditinggalkan bagi orang lain (lihat Mazmur 49:11 ; Lukas 12:16-21), namun seingat saya juga tidak dilarang secara khusus.

Mereka yang mati sama sekali tidak berbuat apa-apa, termasuk berdoa dan memuji Tuhan (Yesaya 38: 18).

Mereka yang berada di api penyucian justru mengharapkan doa-doa kita. Bila mereka sudah berbahagia di surga, kita bisa memohon doa mereka.

Pendapat soal kejadian yang viral dimana seorang pendeta marah dan bahkan tidak bersedia memimpin agenda pemakaman hanya karena anggota keluarga ingin menyertakan sebuah tas di peti mati dengan alasan pesan almarhum sebelum meninggal.

Mohon maaf, dengan sangat menyesal saya berpendapat, sikap yg ditunjukkan oleh Pendeta tersebut tersebut LUAR BIASA buruk, sama sekali tidak menggambarkan seorang gembala

Andaikan ajaran gereja mereka anut pun melarangnya cukuplah dengan menjelaskan dengan lembut dan baik,bahwa tidak baik melakukan hal tersebut tentu dengan menjelaskan pijakan dasar teogisnya.

Andaikan pak Pendeta tersebut mencoba menjelaskan, saya yakin pihak keluargaku akan bisa menerimanya, penjelasan teologisnya masuk akal.

Sangat disayangkan seorang Pendeta dengan mudahnya tersulut emosinya, tidak pantas menyandang panggilan hidup sebagai Pendeta, maaf.

Ricardo Silitonga, jemaat yang masih muda, berpendapat singkat,  kalau sudah diberkati dan peti akan ditutup, seharusnya sudah tidak ada yang menyentuh jenazah apalagi meletakkan benda apapun di dalamnya

Tapi kalau belum diberkati, pendapat aku pribadi, boleh saja meletakkan benda asalkan tidak dengan tujuan penyembahan allah lain. Sama halnya dengan pakaian dan atau alas kaki yang disematkan pada jenazah, demikian Ricardo. ***

Efendy Naibaho

Pos terkait