formatnews.id – Kantor Hukum Lae Luhung Girsang, SH & Robinsar J Barus, SH & Associates mengantarkan surat permohonan Rapat Dengar Pendapat (RDP) ke DPRD Samosir. Surat tersebut diajukan atas nama klien mereka, Darma Sari Ambarita dan istrinya, Retinna Sihotang, yang meminta agar Ketua DPRD Samosir, Nasip Simbolon, yang baru dilantik sebagai ketua, segera mengagendakan RDP terkait permasalahan yang mereka hadapi.
Permohonan RDP ini, dikutip dari media online Sinar24Jam.com, diterima Gorman Sagala, SE, di kantor DPRD Kabupaten Samosir. Kuasa hukum berharap agar DPRD segera mengirimkan surat undangan resmi ke Kantor Hukum Lae Luhung Girsang & Associates guna membahas lebih lanjut substansi permasalahan yang diajukan oleh klien mereka.
Kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam insiden pengerukan tanah yang digali di sekeliling rumah Darma Sari Ambarita dan Rettina Sihotang di Desa Unjur, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, menarik perhatian dua praktisi hukum. Robinsar J Barus, S.H. dan Lae Luhung Girsang, SH, yang juga merupakan penasehat hukum media online Sinar24Jam.com, turun langsung ke lokasi pada 28 Januari 2025 melihat kondisi di lapangan serta memastikan bahwa hak-hak hukum warga yang terdampak tidak diabaikan.
Dalam kunjungan tersebut, kedua praktisi hukum ini menegaskan kesediaan mereka untuk memberikan pendampingan hukum secara probono sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat yang diduga mengalami intimidasi dan ketidakadilan hukum.
Menurut Barus, tindakan pengerukan tanah yang membatasi akses seseorang terhadap rumahnya dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM dan tindakan melawan hukum. Ia menyebutkan bahwa tindakan ini berpotensi melanggar Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, yang menjamin hak setiap orang untuk hidup aman dan bebas dari ancaman kekerasan.
“Jika seseorang tidak bisa mengakses rumahnya sendiri karena ada tindakan sepihak yang dilakukan pihak lain, itu jelas mengancam hak hidup yang layak dan rasa aman. Tindakan ini berpotensi melanggar konstitusi serta aturan hukum yang lebih spesifik,” ujarnya.
Luhung Girsang, S.H., menyoroti kemungkinan pelanggaran pidana dalam kasus ini. Ia mengacu pada Pasal 335 ayat (1) KUHP, yang mengatur tentang perbuatan tidak menyenangkan, serta Pasal 406 KUHP, yang melarang perusakan atau perusakan hak milik orang lain.
“Jika pengerukan ini dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas, apalagi sampai mengintimidasi atau merugikan pihak lain, maka ada kemungkinan unsur pidana yang bisa diterapkan dalam kasus ini,” tegas Lae Luhung.
Kedua praktisi hukum ini menegaskan bahwa jika ada sengketa tanah, maka penyelesaiannya harus dilakukan melalui jalur hukum, bukan melalui tindakan sepihak yang bisa merugikan salah satu pihak.
“Negara kita adalah negara hukum. Jika ada pihak yang merasa memiliki hak atas tanah tersebut, seharusnya mereka mengajukan gugatan ke pengadilan, bukan mengambil tindakan sepihak yang berpotensi melanggar hukum,” kata Robinsar.
Lae Luhung Girsang menambahkan bahwa Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, mengatur bahwa seseorang yang mengklaim hak atas tanah harus memiliki bukti kepemilikan yang sah.
“Tanpa adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, tidak ada pihak yang boleh melakukan tindakan yang merugikan pemilik rumah atau menghalangi akses mereka ke tempat tinggalnya,” lanjutnya.
Sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat kecil yang mengalami dugaan pelanggaran HAM, Robinsar J Barus dan Lae Luhung Girsang menegaskan bahwa mereka akan memberikan pendampingan hukum secara cuma – cuma (probono).
“Kami tidak mencari keuntungan dari kasus ini. Pendampingan ini kami lakukan murni karena kepedulian terhadap masyarakat yang hak-haknya mungkin telah diinjak-injak,” jelas Robinsar.
Mereka juga mengajak masyarakat yang mengalami permasalahan hukum serupa untuk tidak takut mencari keadilan dan melaporkan dugaan pelanggaran HAM kepada lembaga yang berwenang, seperti Komnas HAM dan kepolisian.
Kedua praktisi hukum ini bukan orang baru dalam dunia litigasi. Robinsar J Barus dan Lae Luhung Girsang memiliki pengalaman menangani berbagai perkara hingga ke tingkat Mahkamah Konstitusi (MK).
Dengan pengalaman tersebut, mereka berkomitmen untuk mengawal kasus ini secara profesional dan memastikan bahwa proses hukum berjalan sesuai aturan tanpa intervensi dari pihak mana pun. “Kami ingin memastikan bahwa masyarakat kecil juga mendapatkan keadilan yang sama, tanpa ada ketimpangan hukum. Jika kasus ini perlu dibawa ke level yang lebih tinggi, kami siap mengadvokasinya,” ujar Robinsar.
Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari pihak yang diduga melakukan pengerukan tanah terkait dasar hukum dan alasan tindakan tersebut.
Masyarakat berharap aparat kepolisian dan pemerintah daerah segera mengambil langkah tegas dan transparan untuk menyelesaikan kasus ini sesuai hukum yang berlaku.
Robinsar J. Barus dan Lae Luhung Girsang berjanji akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas dan memastikan bahwa hak-hak korban tetap terlindungi secara hukum.
“Kami akan terus memantau perkembangan kasus ini dan memastikan bahwa masyarakat kecil tidak kehilangan haknya hanya karena keterbatasan akses terhadap hukum”, ujar Robinsar. ***
Efendy Naibaho