Oleh Pdt Saut Sirait
TARUTUNG 4 Januari 2020, sekembali dari pemandian air panas Sipoholon ke penginapan, saya dengan Abang, St. TP SIrait dan Besan, Bang St. Monang Sirumapea berbenah untuk berangkat menuju Sipiriok. Tiba-tiba Bang Monang bertanya, apakah bisa berjumpa Bupati Taput, karena ada pesan yang hendak disampaikan. Spontan saya menjawab: “waduh, saya jadi merasa berdosa, harus ke sana, sepatutnya”.
Telepon langsung saya manfaatkan, tetapi tidak dijawab, walau tulisan berdering tampak pada layar HP. Pesan lewat WA saya sampaikan ingin berjumpa untuk berdoa bersama di awal tahun ini. Tidak lama, balasan masuk: “datanglah Amang, kita lagi acara open house”.
Jam telah mendekati angka 12, kami mempercepat segala sesuatu untuk dapat tiba sebelum ibadah selesai. Tepat doa syafaat kami tiba, tinggal nyanyian persembahan, doa penutup dan berkat yang kami dapatkan. Beruntung beberapa staf kantor Bupati Taput masih mengenal wajah saya dan menunjuk pada kursi kosong pada jajaran bangku ke dua untuk kami duduk. Begitu pendeta selesai menyampaikan berkat, kami langsung beranjak ke depan untuk menyalami Bupati, Ibu dan jajaran pejabat Pemkab Taput.
Sebagaimana lazimnya, sambutan-sambutan dari pelbagai pihak akan digelar dan saya selalu terkena ‘sindrom’ bosan dan bisa tertidur. Diawali sambutan dari Kadis yang mewakili Sekda yang menjadi panitia, saya sdh mulai diterpa ‘sindrom’ bosan. Apalagi MC kemudian mempersilahkan 3 pejabat yang akan pensiun, saya sudah ingin beranjak dari kursi untuk membebaskan diri.
Namun, satu Kadis PUPR, yang bakal pensiun itu menyampaikan kesaksian, bahwa dirinya adalah pendukung lawan Bupati pada tahun 2014 (periode pertama) dan ketika calon yang didukungnya kalah, ia langsung menghadap Bupati terpilih, Drs. Nikson Nababan dan menceritakan dirinya seraya meminta untuk diberhentikan jadi kepala dinas. Kantuk saya langsung hilang, adrenalin mengalir dan muncul sedikit rasa geram atas cerita yang jujur itu. Sekiranya pada saat itu, kejadian itu diketahui atau dilaporkan ke Bawaslu pasti yang bersangkutan diberhentikan dari ASN, bukan hanya dari jabatannya.
Pada sisi lain saya jadi terperangah atas pengakuan jujur itu. Pikiran saya tertuju pada sikap dan putusan Nikson Nababan. Pendukung utama kompetitornya tetap dipertahankan sejak periode pertama hingga tahun pertama di periode kedua, bahkan sampai sang Kadis PUPR yang cukup strategis itu pensiun. Saya sungguh kaget dan sekaligus diselimuti rasa haru yang luar biasa. Hampir 30 tahun saya berkutat dalam urusan demokratisasi di republik yang sangat saya cintai ini, dipenuhi onak dan duri, kekecewaan demi kekecewaan, tiba-tiba dihidangkan menu yang teramat istimewa, kue demokrasi yang sangat nikmat.
Kebanggaan saya membuncah hingga ke ubun-ubun atas kesaksian sang kadis PUPR itu, apalagi saat kisah nyata disampaikan mengenai lapangan terbang Silangit yang menjadi kebanggaan Tapanuli sekarang ini. Meratakan areal berbukit dan bergelombang sepanjang 100 X 60 m, dalam waktu 14 hari, langsung dipimpin Bupati, siang dan malam. Apalagi pernyataan yang kemudian menjadi sikap etis yang dikeluarkan Bupati: kalau bisa hari ini kita selesaikan, untuk apa besok!
Ingatan saya menerawang pada peristiwa 2009, manakala saya terjun merebut kursi DPD DKI dan Bung Nikson Nababan maju untuk merebut kursi DPRD DKI dari PNBK yang saat itu diketuainya. Kami tandem, kampanye bersama-sama masuk ke kampung-kampung di Jakarta Timur, terkena hujan dan makan indomie di tengah jalan. Leaflet, surat ke pemilih dan poster bersama kami buat, meski pada ujungnya kami kurang suara untuk duduk di DPD dan DPRD.
Tentu saja saya teramat bangga dengan sikap demokrat sejati yang ditampakkannya. Suatu keputusan yang tidak mudah baginya, karena menusuk dan merobek dirinya sendiri, terutama perlawanan keras dan kekecewaan dari para pendukung fanatik yang bekerja mati-matian untuk kemenangannya. Keputusan yang teramat jauh dari kemudahan, meninggalkan zona aman dan nyaman, apalagi saat itu merupakan awal pertama dirinya jadi Bupati.
Hati saya jadi nyaman dan pikiran saya mulai fokus mendengarkan untuk mengikuti sambutan berikut. Ketika ketua DPRD menyampaikan data dalam sambutannya, income perkapita yang diawal 800, terus beranjak hingga 2019 mencapai angka 1,4, saya nyaris berdiri untuk bertepuk tangan. Saya menahan diri dan berharap ada lagi menu istimewa dari sambutan berikut.
Keunikan muncul manakala sambutan berikut dari kepala sekolah SMP, kepala puskesmas dan dari petugas lapangan pertanian. Saya geleng-geleng kepala karena dipenuhi kekaguman. Dalam tradisi birokrat di Indonesia, memberi kesempatan kepada pejabat “bawah” merupakan hal yang tabu. Dengan nada datar, nyaris tanpa emosi, mereka menyampaikan realitas di lapangan, mulai dari penanganan kaum manula, puskesmas yang buka 24 jam dan penanganan gratis untuk kelahiran. Harapan mereka, yang sesungguhnya merupakan kritik kepada Bupati, disampaikan dengan penuh ketulusan, tanpa beban, tanpa rasa segan apalagi takut.
Sehari sebelumnya, 3 Januari 2020, saya mengikuti open house di Kantor Pusat HKBP, di gereja tempat saya mengabdi. Kepala saya nyaris patah terkulai ketika mencoba membandingkannya dengan open house di kantor Bupati Taput ini. Jangankan Guru Jemaat, Pendeta Resort, yang menjadi garda terdepan dalam semua program dan kawah persoalan, tidak bakal mendapat kesempatan untuk menyampaikan sambutannya. Sungguh kontras dalam semua hal, mulai dari kesederhanaan, suasana nyaman, ringan dan hikmat, sangat jauh dari perilaku birokratis.
Dentuman meriam berwajah ganda menerpa, manakala Nikson Nababan menyampaikan sambutan sebagai puncak acara. Dengan tampilan wajah alamiah yang hanya sedikit menang, kepala plontos yang sedikit kalah dari saya, dia menyampaikan sambutan dengan pilihan kata yang sangat tepat, mengalir dalam jalur bahasa yang begitu jelas dan sistematis dan tanpa emosi sama sama sekali. Tidak ada satu katapun, baik langsung atau tidak langsung, eksplisit atau implisit membunyikan prestasi yang diraih.
Dia justru membebeberkan masalah demi masalah. Mulai dari banjir di kota Tarutung, kemacetan di Sipoholon dan di Siborong-borong, jembatan di Pangaloan, pasar dan kebersihan, dan kamar hotel “jam-jaman” (prostitusi:red) yang beroperasi lagi, persoalan medsos dengan hoax dan bully, air mineral Protio produk Pemkab, ketentuan perijinan dan kewajiban para vendors, hingga rencana pendirian UNIVERSITAS NEGERI yang masih menjadi keprihatinan.
Dan, semua diurai dengan solusi yang sangat jelas, target waktu yang terpastikan, hingga celutukan home visiting yang harus terus berjalan. Dentuman itu adalah kebanggaan atas seorang kawan, pada seorang Bupati di Republik Indonesia, Tapanuli Utara. Dentuman itu juga menghancurkan, meluluhlantakkan kependetaan saya: “Karya keilahian ternyata sudah bukan lagi di gereja, tetapi pada ruang publik, terutama negara saat ini”.
Tanpa menggurui, jauh dari kehendak ‘menekan’ dengan kuasa, lepas dari keuasangan ‘nasehat’, tanpa bombastisme suara dan hiperbolisme kata, Nixon Nababan sambutannya bagai “roh” yang menghinggapi sanubari pendengar. Memasuki tahun kedua dari periode kedua, yang terakhir dari jabatannya, Nikson Nababan justru lebih memicu dan memacu pencapaian-pencapaian yang sangat obyektif, realistis dan lebih meningkat dari periode pertamanya.
“Gotong Royong” menjadi spirit 2020 dengan langkah-langkah konkret yang sangat realistis dan pasti dapat dilakukan. Saya berani membandingkannya dengan Risma Walikota Surabaya, dengan PAD, tingkat inteligensi dan kesadaran sumber daya manusia, jumlah sekolah hingga perguruan tinggi, perkantoran swasta dan pemerintah, mulai dari Kodam, Polda hingga kanwil-kanwil, dibanding Taput yang kere, jelas, sangat tidak berimbang. Namun dari sisi pencapian, dengan modal “dengkul Taput”, terutama segi kebijakan secara obyektif, berimbang.
Tentu semua insan di Indonesia, pasti pernah mendengar khotbah dari para imam di tempat-tempat peribadahan. Sangat mungkin, tidak satupun yang setuju, bila saya mengatakan bahwa khotbah yang sangat bermakna adalah dari para pelaku-pelaku pada setiap bidang di wilayah profesi, tugas pokok dan area tanggungjawabnya. Tidak semua khotbah harus didasarkan pada ayat dan pasal kitab-kita suci dengan tuntutan persyaratan tafsir dan homilitika.
Ketika Bupati Nikson meminta, memohon, agar semua jajaran Pemkab, seluruh ASN: “Jangan bekerja untuk saya, tetapi bekerjalah untuk rakyat”, saya tiba pada simpul hati, nurani, jiwa dan pikiran, bahkan roh saya mengatakan: Inilah kotbah terbaik yang pernah saya dengar. Saya menjadi teringat dengan Kolose 3: 23 di Alkitab: “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia”. Nikson bukan Tuhan, karena itu ia menuntun segenap jajarannya bekerja untuk Tuhan melalui karya dan pengabdian kepada rakyat. The Best Sermon!
Selamat Tahun Baru Bapak Bupati, Amang Nikson Nababan dan Ibu Satika yang lembut mendampinginya, dan berharap meneruskannya.
(This not a compliment that has purpose of interest, but necessity of a friend, specially so far he continues to be blasphemed, without ever being defended let alone praised friends and supporters. I also hit his policy at social media, when sending priests to Jerusalem last year)
Antara Tarutung-Sipirok 04012020 ***