Pertanyaan: Di masa pandemi ini anggaran banyak diahlikan ke penanganan Covid-19, Sementara DPRD Medan kan di masa pandemi ini melakukan kunker ke beberapa kabupaten/kota di Sumut mengeluarkan Anggaran Yang besar, pendapat bapak gimana terkait ini ? Apa yang seharusnya dilakukan DPRD Medan di masa pandemi ini?
Jawaban 1: Reses Canggih : Pada penghujung Ramadhan yang lalu saya berbincang dengan salah seorang Ketua Komisi pada DPRD Kota Medan, Aulia Rahman. Saat itu saya sarankan untuk sama-sama memikirkan model paling canggih dalam pelaksanaan reses agar benar-benar efektif untuk menanggulangi covid-19 di Kota Medan. Usulan saya adalah, jangan menganggap reses tidak perlu saat pandemi. Bahkan harus lebih intensif namun tidak dengan cara-cara konvensional.
Pada intinya saya mengusulkan bahwa sesungguhnya diperlukan adaptasi model reses agar permasalahan dan aspirasi rakyat yang terdampak pandemi covid-19 dapat diketahui secara rinci dan hasilnya dijadikan dasar bagi formulasi kebijakan.
Kebijakan itu saya harapkan akan terkait dengan dua hal utama. Pertama, upaya bagaimana menghadapi pandemi covid-19 agar rakyat dapat terselamatkan dari marabahaya (penyakit karena tertular dan penyembuhan bagi yang sudah menderita).
Kedua, bagaimana dampak sosial dan ekonomi dapat ditanggulangi sehingga rakyat tetap survive hingga pandemi ini berakhir.
Karena itu saya tidak setuju reses ditiadakan. Malah harus lebih intensif dengan kecanggihan teknologi. Tetapi harus dibedakan antara reses dengan kunjungan ke daerah lain. Menurut saya kunjungan ke daerah lain tidak begitu penting dan seyogyanya ditiadakan untuk sementara hingga kita melewati pandemi ini dengan selamat.
Jawaban 2: Kita semua tahu bahwa seluruh daerah di Indonesia kini sedang mengalami krisis anggaran yang mengkhawatirkan. Misalnya, Pelaksana Tugas (Plt) Walikota Medan, Sumatera Utara, Akhyar Nasution, sampai mengeluh di media sosial bahwa pemerintahan yang dipimpinnya tidak memiliki anggaran yang memadai untuk menjalankan berbagai program yang telah dirancang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Medan tahun 2020. Anggaran yang ada bahkan harus dikurangi, dialihkan, bahkan dihilangkan, untuk menanggulangi dampak COVID-19 yang sedang mewabah. Berikut curahan hati Plt. tersebut:
“Pilkada dalam ketiadaan anggaran Pemerintah Daerah. Kota Medan harus menyiapkan anggaran penyelenggaraan +/- Rp. 100 M (KPU, BAWASLU, Keamanan). Saat ini Pemko Medan dan hampir seluruh pemerintah daerah kesulitan pendapatan akibat dampak covid19 (hanya +/- 10 % dari rencana).
Sementara menuju New Normal dibutuhkan banyak anggaran menyiapkan infrastrukturnya, pendidikan, pasar – pasar, perbaikan jalan dan parit, kesehatan, bantuan sosial masyarakat, recovery ekonomi dan lainnya. Memutuskan prioritas pilihan…..? Mohon Bapak – Ibu – Sdra – Sdri bantu saya menyikapi hal ini!”
Ketika beberapa pengikut beliau di media sosial memberikan komentar menyemangati, beliau membalas: (1) “Semangat sih boleh Pak, tapi kalau anggaran penyelenggaraannya nggak tersedia ? Kondisi pendapatan pemerintah daerah hanya 10% dari rencana”; (2) “masalahnya dimana didapatkan anggaran Bu, pendapatan pemerintah daerah jauh menurun.” (3)“udah nggak ada lagi yang mau dipangkas, pendapatannya yang jauh menurun”.
Laporan-laporan yang disiarkan media massa mengkonfirmasi keluhan Plt. Walikota Medan. Disebut bahwa APBD Kota Medan untuk tahun 2020 telah berkurang drastis, tersisa 60% dari APBD yang direncanakan, akibat pengurangan berbagai dana terutama dari pemerintah nasional, seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) serta transfer daerah, dan pengurangan pendapatan asli daerah (PAD) akibat berkurangnya penerimaan pajak.
Oleh karena itu diperlukan solusi luar biasa untuk memulihkan perekonomian daerah agar dapat menjalankan berbagai program yang telah dirancang. Bagi kota Medan misalnya, diperlukan sumber pendanaan lain untuk mengganti 40% dana APBD yang telah berkurang.
Tiga Skenario
Menurut saya, dan ini saya dan Tim dari Pengembangan Basis Sosial Inistaif & Swadaya (‘nBASIS) dan Penggagas Jaminan Pekerjaan & Penghidupan Indonesia (JAMPPI), telah mendiskusikannya bersama Plt Walikota Medan, Kamis malam (25 Juni 2020) yang lalu di rumah Dinas Walikota Medan, ada tiga skenario yang patut dipertibangkan.
Menurut hemat kami ada beberapa langkah yang memungkinkan untuk ditempuh pemerintah kota Medan dan ini dapat sekaligus dipertimbangkan untuk dilaksanakan di seluruh daerah di Indonesia.
Pertama, kekurangan dana untuk program kota manapun, atau Kabupaten mana pun, atau Provinsi mana pun, baik yang sudah maupun belum dianggarkan, dapat diminta ke pemerintah nasional, yang dalam hal ini diwakili Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Memang, Kemenkeu telah pun menambah stimulus yang awalnya hanya berjumlah sekira 405 triliun menjadi 677 triliun hingga akhirnya sekarang 695 triliun. Walaupun dalam stimulus ini ada dukungan untuk pemerintah daerah, namun terbukti belum mencukupi sehingga muncullah keluhan seperti yang dikemukakan secara terbuka oleh Plt Walikota Medan di atas.
Kedua, penciptaan mata uang komplementer (complementary currency) dalam bentuk mata uang lokal (local currency). Hal ini membutuhkan pemahaman terkini terhadap mata uang, yaitu fungsi penciptaan mata uang adalah sebagai penggerak sumber daya riil yang ada dalam wilayah pencipta mata uang.
Sumber daya riil ini secara garis besar dapat berupa sumber daya alam dan sumber daya manusia. Ia juga mencakup barang dan jasa apapun yang sudah tersedia dalam wilayah pencipta mata uang.
Dalam konteks Indonesia, adalah mata uang rupiah yang menggerakkan seluruh sumber daya riil yang ada di wilayah Indonesia. Dalam konteks Medan, nama mata uangnya dapat ditentukan kemudian. Intinya, sumber daya riil yang ada di kota Medan sebenarnya tidak berkurang ketika terjadi pandemi. Yang berkurang hanyalah anggaran untuk menggerakkan sumber daya ini. Oleh karena itu, jika pemerintah nasional tidak mampu memberikan anggaran, seyogyanya pemerintah kota Medan mencari sumber anggaran lain. Tentu tidak dengan bertindak sendiri tanpa koordinasi dengan pemerintah nasional. Sumber inilah yang berbentuk mata uang lokal yang dapat diciptakan pemerintah kota Medan.
Banyak hal-hal teknis dalam langkah penciptaan mata uang lokal ini yang cukup panjang untuk dibahas dalam artikel opini singkat ini. Contohnya, bukankah kewenangan keuangan sepenuhnya berada di tangan pemerintah nasional? Juga, bagaimana pelaksanaannya setelah mata uang lokal diciptakan?
Oleh itu, langkah ini dapat dianggap sebagai pilihan terakhir sebagai alat untuk menaikkan posisi tawar pemerintah daerah, seperti kota Medan, terhadap pemerintah nasional.
“Jika kau tak mampu memberikan mata uangmu, kami ciptakan mata uang kami sendiri. Banyak pakar bisa membantu kami. Di banyak tempat sekarang dan dulu, yang mau kami lakukan sudah dijalankan dengan berhasil,” begitulah kira-kira yang bisa dikatakan oleh pemerintah daerah kepada pemerintah nasional.
Terasa seperti pembangkangan, namun sesungguhnya adalah orientasi menomorsatukan penyelamatan manusia di tengah ancaman berbahaya pandemi covid-19 dengan terobosan yang merontokkan mitos.
Ketiga, penerbitan obligasi daerah. Langkah inilah yang agaknya paling mungkin untuk ditempuh karena peraturannya memang sudah ada. Namun, perlu berbagai penyesuaian terhadap skema obligasi ini. Persyaratan yang berbelit-belit dan rumit perlu disederhanakan. Kembali koordinasi nasional harus dilakukan dan Jakarta wajib menurunkan egonya.
Preseden obligasi negara dapat dicontoh. Sebelumnya, obligasi negara hanya dapat dibeli Bank Indonesia di pasar sekunder. Menghadapi pandemi, peraturan dibuat untuk mengizinkan Bank Indonesia membeli obligasi negara di pasar primer. Hal serupa perlu diberlakukan untuk obligasi daerah.
Sebabnya adalah, jika dipersyaratkan bahwa obligasi daerah harus dijual di pasar modal, dalam kondisi pandemi, besar kemungkinan bahwa kurang atau bahkan tidak ada investor yang tertarik karena mereka juga kekurangan dana atau lebih tertarik menempatkan dananya pada investasi-investasi yang dianggap lebih aman. Hal inilah yang diatasi pada tingkat nasional dengan diizinkannya Bank Indonesia membeli obligasi negara langsung di pasar primer.
Apalagi jika dilihat rincian stimulus pemerintah nasional dalam berbagai jilidnya, ternyata besar sekali jumlah stimulus yang diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perusahaan keuangan, dan perusahaan-perusahaan pada umumnya. Kurang bahkan tidak wajar bahwa pemerintah daerah, sebagai ujung tombak pelaksanaan konstitusi di daerah, tidak diberikan stimulus serupa. Bahkan anggarannya dikurangi sehingga program-program yang sedianya dilaksanakan melalui APBD terpaksa dikurangi dan dibatalkan.
Padahal sudah dinyatakan baru-baru ini, pada tanggal 19 Juni 2020, oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Wimboh Santoso, “Peran ekonomi daerah menjadi penting untuk menopang percepatan recovery ekonomi nasional.”
Mengenai angka stimulus yang perlu diberikan kepada pemerintah daerah, idealnya tidak hanya memulihkan perekonomian daerah, bahkan juga membangkitkannya. Oleh karena itu, stimulus yang diberikan perlu melebihi anggaran APBD yang berkurang. Misalnya, kota Medan perlu diberikan minimal stimulus melalui skema penjualan obligasi daerah kepada Bank Indonesia sejumlah 40% anggaran APBD yang awalnya direncanakan (sekitar 6 triliun rupiah), yaitu sekitar 2 triliun rupiah. Tenornya dapat dibuat berjangka panjang hingga 50 tahun (seperti obligasi global) dengan suku bunga yang rendah dan bahkan nol.
Angka 2 triliun ini baru cukup untuk memulihkan perekonomian kota Medan, belum membangkitkannya. Untuk ini, diperlukan terobosan yang sekarang sedang hangat diperbincangkan di dunia internasional, dan sudah diterapkan di banyak negara, yaitu program jaminan pekerjaan.
Para pekerja yang menganggur akibat pandemi COVID-19, serta para penganggur yang sebelumnya tidak bekerja, dapat dipekerjakan dalam program Jaminan Pekerjaan Kota Medan ini. Anggaran yang dibutuhkan untuk kebangkitan perekonomian daerah ini dapat didiskusikan rinciannya kemudian.
Sinergitas
Selain koordinasi mutlak dengan pemerintahan nasional, opsi mana pun di antara tiga skenario di atas yang akan ditempuh, pemerintah kota Medan mestilsah bersinergi dengan legislatif dan pemerintah Provinsi. Tema sentralnya menyelamatkan manusia.
Selain saya tidak dapat menjamin 100 % tentang kejituan gagasan solusional yang kami ajukan, juka perlu penyelarasan dengan regulasi yang ada. Karena itu Plt Walikota dapat dengan segera berkonsultasi dan meminta pendapat para ahli (ekonomi, hukum, perbankan dan intelektual organik publik lainnya) agar duduk bersama menentukan pilihan.
Di telinga saya terus terngiang pendapat patriotik yang amat humanis yang mengatakan bahwa ekonomi bisa kita perbaiki nanti, namun jika penduduk menjadi korban (meninggal) karena lack of policy (ketiadaan jawaban kebijakan yang semestinya), penyesalan sepanjang masa tak akan menyelesaikan di balik pertanggung jawaban (social and moral oblogations) yang seyogyanya hadir tak terlambat.
*Shohibul Anshor Siregar, DosenFISIP UMSU. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS) dan anggota Tim Penggagas Jaminan Pekerjaan & Penghidupan Indonesia (JAMPPI).