Benny S Pasaribu : Kebudayaan dan Ajaran Leluhur 2 Sisi dari 1 Mata Uang

Titik Nol Habatahon l Foto Efendy Naibaho

formatnews.id – Dalam Peradaban Batak, manusia dan kemanusiaan Batak berbasis budaya menjadi hal yang utama. Kebudayaan dan ajaran leluhur Batak adalah 2 sisi dari 1 mata uang. Sebelum masuk agama, kebudayaan Batak masih sama/identik dan sama-sama percaya adanya Debata Mulajadi Nabolon. Ritualnya ada. Dan tempatnya yang legendaris adalah di Sianjur Mula-mula, bagian Barat/Utara dari Pusuk Buhit.

Kepada formatnews.id, Minggu (13/04), Sahala Benny Pasaribu, ekonom dan politisi yang faham budaya dan adat istiadat itu mengatakan  sejak masuk agama, manusia Batak ada yang memilih Parmalim, Parbaringin, Protestan, Katolik, Islam, mungkin ada Hindu, Budha dan sebagainya.

Bacaan Lainnya

Benny Pasaribu yang kediamannya juga di kawasan Sianjur Mula-mula, menegaskan ada baiknya sebelah Timur Pusuk Buhit bisa menjadi tempat untuk melakukan ritual keagamaan yang datangnya dari luar Habatakon. Di bagian Barat/ Utara Pusuk Buhit bisalah digunakan untuk melestarikan budaya dan ajaran/situs-situs peninggalan leluhur Batak.

Saya kira kita sepakat dulunya  membangun Garden of Prayers bagi bermacam agama di atas Tanjung Bunga. Tidak ada yang protes soal itu. Bisa diperluas sampai ke atas Hasinggaan. Tapi kalau jadi terbalik-balik, dimana Hinca membangun simbol kebudayaan Batak di atas Aek Rangat,  maka pasti ada yang tidak setuju. Harusnya Bernard bisa berfikir membangun silang di atas Aek Rangat asa lam sejahtera warga na tinggal di si.

Jadi masalahnya adalah tata guna lahan. Dari dulu di Sianjurmula – mula adalah asal muasal manusia dan Bangso Batak. Permulaan peradabatan Habatakon, ujarnya menanggapi adanya yang keberatan terhadap rencana pembangunan Silang Hangoluan di Sianjurmula-mula.

Holan tano na santopik ido na boi tepat sebagai tempat pembangunan pelestarian budaya Batak. Simbol-simbol Habatakon bisalah di Sianjurmula-mula. Kalau simbol-simbol keagamaan bisa dimana saja dan begitu luas, bisa di Tanjung Bunga, Parbaba (atas) , manang di sepanjang Pantai Danau Toba. Bisa di banyak tempat. Tapi simbol kebudayaan Batak seharusnya bisa disatukan di Sianjurmula-mula. Sepakatlah kita ya, ujar Pasaribu, juga warga Sianjurmula-mula itu dan Ketua FGD Batakologi.

Rahmat Siringoringo, par Jakarta, apala iboto (adik) Kariana Siringoringo, aktifis Perempuan Batak, kepada formatnews menyatakan ada benarnya mendukung HBB dalam hal Salib di Titik Nol Habatahon dan kurang pas. Habonaron dang setuju au dipapeol-peol.

Karena apa, ya Habatahon urusan suku, bukan agama. Dan lagi kalau mau jujur ugamo malim do asli ni Batak, ipe dang 100% Batak menganut i. Atribut agama jangan disalahtempatkan, apalagi jika atribut itu disalahgunakan untuk menggerus adat. Silakan tempatkan atribut agama di tempat yang relevan, jangan ditempatkan di Titik Nol Habatahon.

Mestinya, tambah Siringoringo,  semua ormas Batak sependapat untuk melestarikan adat Batak. Jangan dicemari dengan agama yang baru kemaren diterima sebagian masyarakat Batak. Karena ini nanti bisa berdampak buruk jika orang Batak non- Kristen menuntut atribut agamanya juga boleh dibangun di Titik Nol (Sianjur Mulamula).

Lamsiang Sitompul, Ketua Umum Horas Bangso Batak (HBB) terus vokal menyuarakan penolakan terhadap pembangunan ‘Silang Hangoluan’ di Titik Nol Habatakon – Titik Nol Peradaban Suku Batak, di Sianjur Mula-Mula, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara.

Lewat akun media sosial pribadinya, Ketua Ormas Batak tersebut menyoroti soal campur aduk antara identitas Batak sebagai suku, serta religi yang kini sedang dalam tahap pembangunan di areal Titik Nol Habatakon. “Poin pertama adalah Silang (Salib) yang merupakan simbol Kristen. Saya bukan antiagama, saya juga Kristen. Tetapi harus kita bedakan antara agama dan kesukuan. “Agama ya Agama! Suku ya Suku!”, ujar Lamsing kepada formatnews.id, Sabtu (12/04/25).

Sementara Juita Manurung, bersama 13 tokoh-tokoh lainnya, melalui surat bernomor : ist/rptinb/SBS/IV/2025,  tertanggal 09 April 2025,  dari Ruma Parsiajaran Tradisional Inang Nauli Basa, meminta waktu Bupati Samosir Vandiko Gultom audiensi dengan mereka, bersama 13 orang masyarakat dari berbagai unsur dan kelompok meliputi para akademisi, aktivis adat dan budaya, pemerhati adat dan budaya, praktisi hukum dan Aliansi Pemuda Danau Toba

Ke-13 tokoh ini sebagai lembaga yang berkonsentrasi melakukan revitalisasi tradisi dan budaya bermaksud menyampaikan keberatan atas pembangunan Silang Hangoluan yang dibangun  di Parik Sabungan, Sianjur Mula-mula dalam wilayah administrasi Kabupaten Samosir.

Adapun keberatan mereka dengan alasan yang pertama, bahwa keyakinan yang hidup di tengah masyarakat Habatakon bahwa Parik Sabungan dan sekitarnya merupakan asal usul dari leluhur banyak marga-marga di Tanah Batak sehingga pembangunan Silang Hangoluan dapat menghilangkan jati diri Habatakon.

Kedua, pembangunan Silang Hangoluan di Tanah Leluhur marga-marga Batak berakibat pada pandangan negatif dan dapat menjeneralisasi kepercayaan dan agama tertentu kepada suku Batak yang bedampak akan adanya pengkotak-kotakan dalam masyarakat habatakon.

Kemudian disebutkan Juita Manurung, atas pembangunan Silang Hangoluan di Tanah Leluhur marga-marga Batak akan menjadi jurang pemisah dalam masyarakat habatakon yang menimbulkan konflik yang luas dalam masyarakat habatakon dan bahkan hal tersebut berpotensi chaos (kekacauan). Masih banyak alasan lainnya, ujarnya yang sudah nenyerahkan permohonan audiensinya, kemaren.

Sedang aktifis lainnya, di antaranya Aniya Raja Sitindaon bersama tim kecilnya, Sabtu kemaren sudah berkunjung ke Titik Nol Habatakon itu dan dialog singkat padat dengan sekjen parsadaan Limbong di sana.

Dikutip dari Kominfo Samosir (12/3), Wakil Bupati Samosir Ariston Tua Sidauruk bersama Ketua Parsadaan Pomparan Limbong Mulana Indonesia (PPLMI) Bernhard Limbong meletakkan batu pertama pembangunan Salib Suci “Silang Hangoluan” Limbong Mulana di Titik Nol Habatahon, Huta Parik Sabungan, Desa Sarimarrihit-Sianjur Mulamula, 12/03.

Pembangunan Silang Hangoluan merupakan inisiasi Parsadaan Pomparan Limbong Mulana Indonesia (PPLMI), salah satu marga tertua di Kabupaten Samosir. Sesuai rencana Salib akan dibangun dengan tinggi 45 M dan akan menjadi Salib tertinggi di Dunia.

Ketua Parsadaan Pomparan Limbong Mulana Indonesia (PPLMI) Bernhard Limbong mengatakan bahwa dirinya terpikir untuk membangun Bona Pasogit, mengingat begitu banyaknya pembangunan yang ia lakukan di daerah lain, dan pemikiran ini menggugah pikirannya membangun Bona Pasogit. “Saya dikasih Tuhan banyak berkat dan saatnya berbuat untuk Bona Pasogit, mulai dari Tugu Limbong Mulana, Titik Nol Habatahon dan Salib Hangoluan”, kata Bernhard.

Salib Hangoluan akan dibangun dengan tinggi Salib 45 meter dan secara keseluruhan mulai dari lantai setinggi 52 meter, menelan biaya Rp 50 milyar dan merupakan dana pribadi sebagai bukti kepedulian kepada Bona Pasogit. Melengkapi bangunan Salib juga akan dibangun rumah doa. “Menjadi suatu ikon Salib tertinggi di Dunia. Ini bukan mimpi, saya tidak pemberi harapan palsu, sebelum saya dipanggil Tuhan, saya akan berbuat sesuai dengan berkat yang diberi Tuhan”, tambah Bernhard.

it. “Saya dikasi Tuhan banyak berkat dan saatnya berbuat untuk Bona Pasogit, mulai dari Tugu Limbong Mulana, Titik Nol Habatahon dan Salib Hangoluan”, kata Bernhard.

Dijelaskan Bernhard, Salib Hangoluan akan dibangun dengan tinggi Salib 45 meter dan secara keseluruhan mulai dari lantai setinggi 52 meter, menelan biaya 50 Milyar dan merupakan dana pribadi sebagai bukti kepedulian kepada Bona Pasogit. Melengkapi bangunan Salib juga akan dibangun rumah doa. “Menjadi suatu ikon Salib tertinggi di Dunia. Ini bukan mimpi, saya tidak pemberi harapan palsu, sebelum saya dipanggil Tuhan, saya akan berbuat sesuai dengan berkat yang diberi Tuhan”, tambah Bernhard. ***

Efendy Naibaho

 

Pos terkait