formatnews.id – “Sirabun Tano”, Ketika Tanah Bukan Sekadar Lahan, Tapi Roh Leluhur, ini pernyataan Shohibul Anshor Siregar, boleh disebut sebagai Sastrawan Batak atau Akademisi Batak yang tersohor dewasa ini ketika menulis artikel untuk formatnews.id, Sabtu (Minggu (pekan ini.
Media online www.formatnews.id memang sengaja meminta tanggapan Shohibul dan banyak pihak lainnya setelah lagu satire “Sirabun Tano” pekan ini semakin viral dan banyak ditonton kalangan. Semakin enak kudengar bah lagu “Oppungku Si Raja Tano l Bapakku Sibagi Tano l Anakku Sigadis Tano l Pahoppu Srabun Tano….” Amangtahe, tulis Efendy Naibaho Pemimpin Redaksi formatnews.id sembari menambahkan tagline #JanganJualTanah Batak! dan menambah lirik lagunya.
Di tengah dentuman pembangunan dan narasi-narasi ekonomi yang kian menjadikan tanah hanya sebagai komoditas, video singkat “Sirabun Tano” datang sebagai tamparan halus namun menusuk. Dalam balutan bahasa Batak yang puitis, video ini menyuarakan sesuatu yang nyaris hilang dari percakapan publik kita: bahwa tanah bukan hanya tempat berpijak, melainkan bagian dari jiwa manusia itu sendiri.
“Sirabun Tano”—yang dapat diterjemahkan sebagai Kami Adalah Tanah—, demikian Shohibul Anshor Siregar, menghidupkan kembali cara pandang kosmologis masyarakat Batak terhadap alam. Tanah bukan sekadar entitas mati. Ia hidup, ia mendengar, dan ia menjadi medium di mana roh para leluhur menetap, tempat di mana sejarah dan masa depan saling berjumpa.
Dalam narasi visual yang kuat dan iringan suara alam yang tenang, video ini mengisahkan bagaimana masyarakat Batak—khususnya dari wilayah pegunungan Sumatra Utara—menempatkan tanah sebagai pusat kehidupan. Tidak hanya tempat bertani dan tinggal, tetapi juga tempat penguburan, tempat upacara, tempat cerita turun-temurun diwariskan.
Namun “Sirabun Tano” bukan sekadar romantisme masa lalu. Ia juga merupakan panggilan akan krisis yang sedang terjadi. Penambangan yang merusak, pembangunan tak ramah lingkungan, dan perampasan lahan adat menjadi latar nyata dari kesedihan yang tidak diucapkan secara langsung, tapi terasa dalam setiap potongan visual. Ini adalah semacam elegi, ratapan diam, sekaligus perlawanan halus dari akar rumput.
Menonton “Sirabun Tano”, lanjut Shohibukl, juga dosen di universitas ternama di Medan ini, seperti membaca doa leluhur yang ditulis ulang dalam bahasa anak muda. Pendekatan artistiknya yang sederhana tapi mendalam menyentuh siapapun yang pernah merasa tercerabut dari akarnya. Ini bukan hanya kisah masyarakat Batak, melainkan kisah kita semua—bangsa yang pernah hidup berdampingan dengan alam, tapi kini semakin jauh darinya.
Di tengah riuhnya konten digital yang serba cepat dan dangkal, “Sirabun Tano” memberi ruang untuk hening. Dan dalam hening itu, kita diingatkan kembali bahwa tanah yang kita injak hari ini adalah tanah yang menyimpan janji, air mata, dan harapan banyak generasi. Jika tanah bisa bicara, barangkali suaranya tidak akan berbeda jauh dari video ini.
Tentang Karya: Video “Sirabun Tano” adalah karya kreatif yang menggabungkan visual alam Batak dengan narasi lisan penuh makna. Cocok menjadi bahan kampanye lingkungan, edukasi budaya, dan refleksi spiritual lintas generasi. Yang pasti, “Saya tak tahu judul video itu. Saya sebut caja “Sirabun Tano”. Mohon maaf kepada pencipta dan pendendang lagu ini”, ujar Shohibul.


