Oleh Shohibul Anshor Siregar l Dosen dan Aktifis Budaya
SELAMA ini, narasi dominan menyatakan bahwa Pusuk Buhit adalah milik orang Batak, sebagai pusat sakral dan simbol asal-usul leluhur.
Namun, artikel ini mengajukan pembacaan terbalik: bahwa bukan orang Batak yang memiliki Pusuk Buhit, melainkan Pusuk Buhit-lah yang memiliki orang Batak.
Dengan meminjam pendekatan filosofis ontologis dan fenomenologis, tulisan ini menyelidiki bagaimana gunung sakral itu bukan sekadar objek milik budaya Batak, tetapi subjek yang membentuk, merawat, dan mengklaim komunitas Batak dalam relasi historis, kosmologis, dan ekologis.
*
Dalam kosmologi Batak, Pusuk Buhit menempati posisi sentral sebagai poros mitologis, tempat kelahiran Si Raja Batak. Ia diposisikan sebagai asal-muasal genealogis dan spiritual. Maka tak heran jika masyarakat Batak kerap mengatakan, “Pusuk Buhit adalah milik kami.”
Pernyataan ini mengandung klaim kepemilikan atas tanah, sejarah, dan simbol identitas. Namun, klaim ini perlu dibongkar secara kritis.
Apakah manusia benar-benar dapat memiliki yang sakral? Ataukah justru yang sakral itu yang memiliki manusia?
*
1. Ontologi Terbalik: Dari Objek Menjadi Subjek
Dalam filsafat barat maupun kosmologi lokal, tanah dan alam kerap diposisikan sebagai objek pasif yang dimiliki, dikelola, dan dieksploitasi. Namun dalam tradisi Batak, Pusuk Buhit bukan sekadar gunung fisik, melainkan entitas hidup yang penuh daya. Ia memiliki agen, mampu memberi restu atau menolak. Dalam upacara mangadati, misalnya, Pusuk Buhit menjadi titik poros doa dan ziarah, bukan karena fungsinya sebagai tempat, tetapi karena peranannya sebagai pemberi makna.
Dengan kata lain, Pusuk Buhit bukan objek milik orang Batak, melainkan subjek yang mengklaim dan membentuk identitas Batak. Orang Batak menjadi Batak karena diakui dan dimiliki oleh Pusuk Buhit dalam sistem makna yang diwariskan turun-temurun.
*
2. Pusuk Buhit sebagai Agen Kosmologis
Dalam narasi mitologis, Si Raja Batak tidak menciptakan Pusuk Buhit, melainkan turun ke sana. Ini menandakan bahwa tempat tersebut sudah lebih dulu ada—secara kosmologis lebih tua daripada orang Batak itu sendiri. Maka, bukan orang Batak yang memberi legitimasi kepada Pusuk Buhit, tetapi Pusuk Buhit yang memberi legitimasi kepada orang Batak untuk mengaku sebagai keturunan dari tempat itu.
Dalam logika ini, tanah bukan warisan yang bisa diwariskan secara vertikal, melainkan ikatan relasional yang dijaga secara horizontal. Pusuk Buhit bukan “harta” yang bisa diperjualbelikan atau diwariskan, tetapi “tuan rumah” yang memberi tempat dan makna bagi eksistensi Batak.
*
3. Ekologi Sakral: Kepemilikan sebagai Relasi, Bukan Hak
Dalam konteks krisis lingkungan global, membalik logika kepemilikan menjadi penting. Jika manusia mengklaim memiliki alam, maka kerusakan adalah konsekuensinya. Namun jika alam—dalam hal ini Pusuk Buhit—dipahami sebagai yang memiliki manusia, maka relasi yang terbangun adalah relasi pengabdian, penjagaan, dan tanggung jawab. Orang Batak merawat Pusuk Buhit bukan karena ia adalah “aset budaya”, tetapi karena ia adalah entitas yang menjaga kehidupan Batak secara spiritual dan ekologis.
**
4. Pusuk Buhit dan Politik Kultural
Pengakuan negara terhadap kawasan sakral sering kali berada dalam logika kepemilikan administratif: siapa pemilik legal, siapa pengelola. Dengan membalik narasi bahwa Pusuk Buhit memiliki orang Batak, kita menantang logika kolonial-modern tentang tanah sebagai komoditas. Sebaliknya, kita menegaskan bahwa tanah sakral adalah entitas kultural-politik yang memiliki rakyatnya dan memiliki hak untuk dijaga melalui mekanisme adat, bukan hanya hukum negara.
**
Pusuk Buhit Adalah Rumah yang Memilih Penghuninya
Maka, alih-alih bertanya “Siapa pemilik Pusuk Buhit?”, pertanyaan yang lebih relevan adalah “Apakah Pusuk Buhit masih mengakui orang Batak sebagai bagian dari dirinya?” Sebab dalam logika kosmologis dan etis, menjadi Batak bukan sekadar soal keturunan biologis, melainkan keterhubungan spiritual dan tanggung jawab ekologis terhadap tanah sakralnya.
Membalik logika dari “Pusuk Buhit milik orang Batak” menjadi “Pusuk Buhit memiliki orang Batak” membuka ruang refleksi kritis terhadap cara kita memahami identitas, tanah, dan relasi sakral. Ini adalah ajakan untuk beralih dari mentalitas kepemilikan menuju etika penjagaan—dari klaim warisan menjadi ikrar pengabdian. ***