Shohibul Anshor Siregar*
Saudaraku, ini sebuah kisah lama, dari dekat-dekat sini. Ketika Belanda masih menjadi big boss kita.
Pemilihan raja di antara suku Toba-Batak adalah rejeki nomplok tak terduga. Kasus di Prapat dapat mewakili praktik yang terjadi menyeluruh. Jumlah pemilih 297 jiwa. Hanya lelaki dewasa dan yang sudah kawin berhak memilih. Perempuan tidak diikutkan.
(-) Menurut Asisten Residen Middendorp, suap dalam pemilu semacam ini membutuhkan biaya tidak kurang dari 4000 gulden. Ini akan dimulai jauh sebelumnya, lebih jauh lagi, para calon, dengan membuat janji-janji, berusaha melaksanakan setelah mereka terpilih, untuk menarik para pemilih. Mereka kemudian akan mengampuni mereka, dalam hal pajak, hak hewan, atau lainnya.
(-) Selain pengistimewaan dalam adat, raja di negeri Batak juga menerima biaya bervariasi antara 80 dan 150 gulden per tahun. Pemerintah mengalokasikan jumlah tahunan sebesar 20.000 gulden untuk negeri-negeri Batak untuk tujuan itu. Mereka juga menerima upah pungutan dari pajak (8 persen, namun harus dibagi dengan pejabat lain, termasuk kepala kampung), 8 persen dari keringanan layanan pemerintah, dan 4 persen dari pemotongan pajak.
(-) Di Tapanoeli Para Raja menerima upah mereka dari pundi-pundi koeria 80 gulden per bulan. Pada awalnya, dalam pembentukan negeri-negeri (kemudian disebut hoendoelang), terutama di Samosir, banyak kepala huta yang melihat begitu banyak pelarian dari gengsi mereka harus agak puas dengan menyebut mereka yang disebut Raja Padua, jenis raja kedua, yang akan membantu para raja dalam tugas mereka.
(-) Politik uang dalam perhelatan pilkada dapat dilihat sebagai transaksi yang memang tak seragam. Di seluruh dunia ia terjadi dengan pola yang ditentukan dua sisi. Sisi pertama ialah kepentingan subjektif pemberi dan sisi kedua kepentingan si penerima.
(-) Jadi, apa yang berbeda hingga kini, Saudaraku?
*Dosen, Peneliti, LSM tinggal di Medan