Oleh Jamin Naibaho, SH
formatnews.id : PADA 27 November 2024, Kabupaten Samosir akan melaksanakan pemilihan bupati kelima. Sejarah pemilihan bupati dimulai pada tahun 2005, ketika Mangindar Simbolon terpilih sebagai bupati pertama setelah pemekaran dari Kabupaten Toba Samosir pada 2004. Mangindar, yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Tapanuli Utara, juga berhasil memenangkan pemilihan kedua pada tahun 2010. Kemudian, pada 2015, Rapidin Simbolon mengambil alih kepemimpinan, dan pada 2019, Vandiko Gultom mengalahkan petahana dalam pemilihan keempat.
Pemilihan bupati pertama pada 2005, meskipun pada awalnya tampak bebas dari politik uang, akhirnya ternoda oleh praktik tersebut. Salah satu pasangan calon yang semula tidak diunggulkan berhasil memenangkan pemilihan dengan bantuan uang sekitar Rp20 ribu hingga Rp30 ribu per pemilih. Sayangnya, kemenangan tersebut tidak membawa keharmonisan. bupati dan wakilnya berseteru selama masa jabatan mereka.
Pada pemilihan 2010, politik uang semakin kuat. Pasangan petahana yang tidak sejalan kembali bersaing, dan kali ini nilai suap meningkat signifikan, mencapai Rp50 hingga Rp100 ribu. Mangindar Simbolon kembali terpilih bersama wakilnya, Sinaga. Namun, setelah wafatnya Sinaga, posisi wakil bupati diisi oleh Rapidin Simbolon selama dua tahun berikutnya.
Pilkada 2015 juga tidak terlepas dari pengaruh uang. Rapidin Simbolon memenangkan persaingan melawan Hatorangan Simarmata, Raun Sitanggang dan Alusdin Sinaga, dengan mahar politik berkisar Rp150 ribu per pemilih. Kemenangan tersebut semakin mengukuhkan praktik politik uang sebagai norma baru dalam pemilihan di Samosir.
Pada pemilihan 2019, politik uang mencapai puncaknya. Petahana Rapidin Simbolon menghadapi Vandiko Gultom dan Marhuale Simbolon. Meskipun petahana yakin akan menang, politik uang dari pihak lawan yang kurang diunggulkan mencapai Rp300 ribu per pemilih, ditambah berbagai bonus lainnya. Faktor ekonomi yang tertekan akibat pandemi Covid-19 membuat banyak masyarakat terpengaruh oleh tawaran tersebut, dan akhirnya, petahana terguling.
Situasi ini mencerminkan keprihatinan mendalam di kalangan masyarakat Samosir. Pemilihan yang dulunya dipandang sebagai ajang kompetisi yang adil, kini telah berubah menjadi arena perebutan kekuasaan yang didominasi oleh uang. Masyarakat merasa telah “tergadai” kepada pemilik modal, yang nantinya akan mengembalikan “investasi” mereka melalui korupsi.
Meskipun demikian, masyarakat Samosir harus sadar bahwa politik uang bukanlah segalanya. Hak pilih adalah hak asasi yang harus dihormati dan tidak boleh dipengaruhi oleh tekanan atau suap. Pemilihan yang jujur dan adil adalah landasan demokrasi, dan rahasia di balik pilihan seseorang dijamin oleh undang-undang. Jangan biarkan pilihan Anda dijual demi keuntungan jangka pendek, karena dampaknya akan terasa dalam jangka panjang.
Pemilihan tahun 2024 antara petahana Vandiko T. Gultom yang berpasangan dengan Ariston T. Sidauruk, melawan Freddy Situmorang dan Andreas Simbolon, akan menjadi perhatian publik. Politik uang tampaknya masih akan menjadi faktor dominan dalam pemilihan ini, dan Samosir bahkan telah dikenal sebagai salah satu daerah dengan praktik politik uang terbesar di Indonesia, mengalahkan daerah seperti Bekasi yang hanya menawarkan sebungkus mie instan.
Bahkan, fenomena ini telah menjadi bahan ejekan di luar negeri, mencoreng citra Indonesia sebagai negara yang dikenal dengan sikap sopan dan santun. Pemilihan di Indonesia sering dianggap telah dimenangkan sebelum pemungutan suara, dengan segala macam bantuan sosial dan pemberian materi lainnya untuk mempengaruhi pilihan rakyat.
Pemilu 2024 di Samosir berpotensi mempertontonkan berbagai pelanggaran, mulai dari manipulasi terstruktur, sistemik, hingga masif. Pemerintah daerah, termasuk para kepala desa, diduga terlibat dalam mengarahkan dukungan ke kandidat tertentu, meskipun undang-undang melarang keterlibatan mereka dalam kampanye.
Undang-Undang Desa No.6/2014 dengan tegas melarang kepala desa terlibat dalam politik praktis. Bagi yang melanggar, ancaman hukuman mulai dari teguran hingga pemberhentian dapat dijatuhkan. Pemilu yang adil harus memastikan bahwa semua yang berhak mendapat kekuasaan tidak kehilangan haknya akibat kecurangan.
Namun, siapa yang harus bertanggung jawab atas kecurangan tersebut? Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memiliki peran penting dalam memastikan integritas pemilu. Pertanyaannya adalah, pada titik mana Mahkamah Konstitusi akan menghitung kecurangan yang terjadi? Dan apakah kita sebagai masyarakat hanya akan pasrah menerima nasib, atau berani melawan praktek politik uang ini? ***
*Jamin Naibaho, Praktisi Hukum, Aktifis Lingkungan