Oleh Yance
Banjir adalah fenomena alam biasa yang sering terjadi, dan karena begitu sering terjadi khususnya di negeri kita, sudah dianggap sebagai rutinitas. Respon yang diberikan terhadap banjir, berbeda tiap orang dari masa ke masa. Hal ini disebabkan karena perbedaan cara yang digunakan. Ada yang menanggapi banjir sebagai takdir yang tidak dapat dihindari, harus diterima sebagai takdir dari Yang Maha Kuasa. Adapula yang menganggap banjir dapat dicegah terjadinya, minimal dapat dikurangi frekuensi dan intensitasnya.
Banjir didefinisikan sebagai berikut : Meluapnya air dari badan air, sehingga melimpas dan menggenangi daerah yang biasanya tidak tergenang. Sebagai peristiwa alam, sebenarnya banjir dapat dikelola dengan sains modern dan teknologi, sehingga efek destruktifnya dapat diredam. Untuk dapat mengelola banjir, langkah pertama adalah memahami perilaku dan karakter banjir, termasuk mengkaji faktor penyebabnya.
Faktor penyebab banjir dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1.Faktor alam, terdiri dari :
A. Hidro -Klimat – Meteorologi
Faktor ini meliputi curah hujan, intensitas hujan, volume hujan, frekuensi hujan, durasi hujan, jarak waktu satu hujan dengan hujan berikutnya.
B. Geologi dan geomorfologi.
Faktor ini meliputi bentuk dan ukuran dimensi alur sungai, kemiringan dasar sungai, tingkat kekasaran atau kehalusan dasar sungai, tingkat kelokan (meandering) sungai, koefisien infiltrasi air di badan sungai dan daerah aliran sungai, morfologi dan morfometri sungai .
2. Faktor manusia, meliputi:
Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Akibatnya ketentuan rasio building coverage dilanggar, luas daerah tangkapan air menyusut, koefisien run off (limpasan air ) meningkat. Praktek pertanian intensif yang melampaui daya dukung lahan. Pemanfaatan bantaran sungai untuk pemukiman, sehingga lebar sungai dan luas penampang badan air berkurang.
Alih fungsi kawasan lindung menjadi kawasan budidaya, sehingga laju sedimentasi meningkat dan mengakibatkan alur sungai menjadi dangkal. Perilaku membuang sampah di badan sungai, sehingga aliran air tidak lancar.
Akibat banjir
Akibat dari peristiwa banjir dapat dikelompokkan :
1. Kerugian materi, jiwa.
2. Kerugian ekologis.
Kerugian ekologis terbesar adalah berkurangnya tingkat kesuburan lahan. Biasanya banjir membawa endapan lumpur yang tebal. Ketika banjir sudah surut, tinggal endapan lumpur yang menutupi pori – pori tanah. Akibatnya kemampuan infiltrasi tanah dalam menyerap air menurun tajam. Di samping itu, udara yang dibutuhkan oleh hewan – hewan tanah tidak dapat masuk, akibatnya hewan hewan itu mati. Sementara hewan tanah adalah faktor penyubur tanah. Oleh karena kemampuan tanah menyerap air sangat kecil, pori- pori tanah tertutup, maka permukaan tanah jadi keras. Ketika datang banjir berikutnya, maka dapat dipastikan luas genangan banjir meningkat, begitulah seterusnya.
Mitigasi Banjir
Setelah mengetahui “peta anatomi ” penyebab banjir, dapat dirancang upaya mitigasi banjir. Upaya tersebut mencakup aspek – aspek : Kebijakan pengelolaan sungai, mulai dari perencanaan hingga evaluasi dan perbaikan berkelanjutan. Membuat regulasi aturan main mulai dari tingkat global hingga tingkat detail teknis.
Teknologi rekayasa sungai. Teknologi rekayasa pengendalian laju erosi dan sedimentasi, khususnya di daerah hulu.
Rekayasa sosial budaya. Revitalisasi kelembagaan pengelolaan sungai.
Model Manajemen Banjir
Pada awal abad XXI, ITC Enschede dan Tweente University telah mengembangkan model pembangunan berbasis ekologis yang dikenal sebagai model Satuan Wilayah Sungai (SWS ). Model SWS sudah diadopsi dan dilaksanakan di Indonesia. Model ini pertama kali diterapkan di Jawa Tengah.
Lima Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu DAS Jragung, Tuntang, Serang. Lusi, Juwana digabung menjadi satu SWS, yaitu Jratunseluna, meliputi 13 kabupaten yang dikelompokkan dalam tiga golongan, Kabupaten hulu, tengah dan hilir. Setiap tahun Bupati, Kepala BAPPEDA dan Kepala kepala Dinas dari 13 kabupaten berkumpul menyusun rencana
pembangunan bersinergi. Apa saja yang harus dilakukan oleh kabupaten hulu, tengah dan hilir.
Hasilnya luar biasa, semua kabupaten mengalami kenaikan peringkat. Kabupaten yang sudah mapan, jadi makin mapan, yang menengah naik jadi mapan dan kabupaten miskin naik jadi menengah. Mereka maju bersama – sama, seperti lokomotif yang menarik rangkaian gerbong kereta api. Produktivitas meningkat, bencana ekologis berkurang, lahan kritis berkurang, angka kemiskinan berkurang.
Biaya rehabilitasi kerusakan infrastruktur yang biasanya menyedot anggaran cukup besar, sekarang dapat digunakan untuk menggerakkan pembangunan sektor riil.
Untuk dapat melaksanakan model SWS dengan sukses dibutuhkan persyaratan yaitu para Kepala Daerah harus rela
menanggalkan rasa Ego Kedaerahan dan sikap serta perilaku seperti Raja – raja Kecil. Sekarang setiap Provinsi mengadopsi model SWS, tetapi karena kurangnya komitmen dan tidak konsisten dalam pelaksanaan, hasilnya jauh dari memuaskan, tidak ada yang seperti SWS Jratunseluna.
Cara Menghitung Besaran Kerugian Akibat Banjir. Cara menghitung kerugian yang ditimbulkan oleh banjir ataupun peristiwa alam lainnya, secara saintifik memerlukan cara pandang berbeda dengan yang dipahami oleh sebagian besar orang.
Di bawah ini dipaparkan prosedur menurut standard keilmuan, yaitu : Mengenali dan mengidentifikasi jenis kerugian.
Ada tiga jenis kerugian yang dapat diidentifikasi, yaitu :
A. Kerugian yang teridentifikasi dan terasuransi. Kelompok jenis Kerugian ini sangat mudah menghitungnya dan beban itu dipikul oleh lembaga asuransi, baik sebagian maupun seluruhnya. Besaran jenis kerugian ini per individu sebenarnya tidak terlalu besar. Walaupun demikian, karena jumlah individu yang mengajukan klaim sangat banyak dalam durasi waktu bersamaan, dapat menyebabkan pihak asuransi menderita kolaps atau kesulitan cashflow.