100 Tahun Dr TB Simatupang: Sebuah Renungan, “TUHAN SUNGGUH SAYANG SAMA PAK SIM”

TB Simatupang

Oleh Padmono Sk

Dr TB SIMATUPANG adalah pahlawan nasional. Beliau dilahirkan tanggal 28 Januari 1920. Hari itu  genap 100 tahun. Saya merasa beruntung mengenal Pak Sim dari dekat. Beberapa kali saya sempat berdiskusi dengan Pak Sim dan terakhir ketika Harian Sinar Harapan dicabut SIUPP-nya tahun 1986. Beliau menyatakan sangat prihatin karena Sinar Harapan adalah surat kabar yang menyuarakan “kebenaran dan kemerdekaan berdasarkan kasih”. Melalui surat kabar itu Pak Sim banyak mengemukakan gagasan mengenai bangsa dan negara ini. Bagaimana mencari penggantinya? Koran baru memang terbit tetapi tidak setegar koran yang digantikannya. Juga tidak selantang sebelumnya.

Bacaan Lainnya

Benar, Pak Sim prihatin! Peristiwa itu menunjukkan karakter penguasa yang otoriter. Tetapi bukan Pak Sim namanya kalau tidak bisa keluar dari keprihatinan seperti itu. Beliau optimis akan ada cara lain untuk menyuarakan kebenaran sesuai dengan hati nurani yang merdeka, hati nurani rakyat. Pak Sim memang seorang yang selalu optimis: berpikir dan bertindak positif dan realistis. Rumusan Gereja-gereja di Indonesia yang “Positif, Kreatif, Kritis dan Realistis” dalam menghadapi kehidupan bangsa dan negara ini memang lahir dari pergumulan yang intens dan Pak Sim termasuk salah satu perumus dari sikap dan pemahaman seperti itu.

Dr. Eka Darmaputera, salah satu sahabat Pak Sim dalam berteologi di Indonesia (seringkali keduanya saling memuji) menyatakan bahwa pemikiran teologis Pak Sim itu memiliki kesejajaran dengan – dan Pak Eka mengajukan tesis: dipengaruhi oleh – pemikiran etis Reinhold Neighbour yang menulis buku : Christ and Culture! Neighbour mengembangkan teologi yang bersikap realistis dalam menghadapi berbagai persoalan, yang memberi ruang untuk kreatif.

Pak Sim mengembangkan sikap itu sehingga menimbulkan sikap etis: realisme yang berpengharapan. Sikap hidup yang selalu optimis itu tergambar dalam buku Laporan Dari Banaran, buku kedua yang ditulisnya dan terbit pertama kali tahun 1960. Di dalam buku itu Pak Sim menggambarkan kegigihannya sebagai wakilnya Pak Dirman dalam perjuangan bersenjata melawan Belanda. Beliau bahkan terlibat langsung dalam perundingan-perundingan yang akhirnya menghasilkan pengakuan kedaulatan Negara Republik Indonesia oleh Hindia Belanda dan diakui bangsa-bangsa.

Dalam terbitan kedua tahun 1980 Pak Sim menambahkan sebuah epilog. Beliau memberikan gambaran yang jelas mengenai ideologi yang mengancam Pancasila. Dan itu bukan hanya “musuh khayalan”, tetapi realita yang Pak Sim hadapi langsung ketika tegaknya negara ini sedang diperjuangkan. Ancaman itu dari PKI yang di Madiun dideklarasikan berdirinya negara komunis oleh Muso. Tidak butuh waktu lama PKI dikalahkan. Walau kemudian PKI sebagai partai berdiri lagi, ikut pemilu 1955 dan kemudian berulah di tahun 1965, akhirnya ideologi komunis mati sendiri di negeri asalnya dan tidak laku.

Ancaman kedua adalah Darul Islam! Ini dihadapi langsung oleh Angkatan Perang. Ketika mereka kembali dari Jogjakarta, mereka disergap. Tentara bersenjata itu semula dikira “kawan” dalam berjuang untuk tegaknya negeri ini, ternyata “menggunting dalam lipatan”. Dan ideologi untuk mendirikan negara Islam, mengganti dasar negara Pancasila dengan Islam itu bahkan mengeras dalam sidang konstituante yang karena menghadapi jalan buntu, masalah itu diselesaikan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali ke UUD 1945.

Pak Sim mengatakan bahwa dengan dekrit itu, masalah Negara Pancasila versus Negara Islam telah dapat diatasi secara definitive, “TNI dan umumnya kekuatan yang dibangkitkan selama perang kemerdekaan sepenuhnya mendukung dekrit itu”, tulis Pak Sim.

Pak Sim optimis masalah ideologi yang mengancam Pancasila dapat diatasi. Karena itu beliau banyak melakukan pencerahan dengan tulisan-tulisannya yang mendasar, antara lain mengenai hubungan Pancasila dengan agama! Bahkan pemikirannya yang cemerlang mengenai Pembangunan Sebagai Pengamalan Pancasila menjadi nafas pembangunan bangsa karena berada di jantung GBHN 1988.

Namun kalau kita mau jujur, harus diakui ada kelompok masyarakat yang merasa gerah dengan pemikiran-pemikiran Pak Sim yang sangat mewarnai kebijakan Pemerintah dalam kehidupan bangsa ini. Mereka itu tidak mampu membantah atau memiliki kesempatan untuk menyodorkan alternative ideology kepada bangsa ini. Itu sebabnya ketika Pak Sim meninggal tanggal 1 Januari 1990, kelompok itu bersorak-sorai, merayakan “kemerdekaan”.

Yah, Pak Sim memang seorang negarawan yang sangat cerdas, jernih dan bijaksana dalam melihat persoalan bangsa. Beliau tidak pernah menggunakan kalkulasi politik seperti orang lain, tidak pernah berhitung untung rugi secara politik. Kepentingan bangsa adalah pertimbangan utamanya.

Optimisme Pak Sim dan sikap hidup yang positif itu dinampakkan dalam kehidupan nyata. Sebagai tentara Pak Sim berpendapat bahwa yang ada di dalam ketentaraan adalah disiplin dan patuh pada pimpinan. Itu sebabnya beliau marah ketika ada pimpinan tentara yang menggunakan cara-cara politik, mengumpulkan tanda tangan meminta persetujuan untuk mengganti pimpinan! Itu yang terjadi tahun 1952, yang berujung pada peristiwa 17 Oktober 1952. Orang-orang politik mempengaruhi Presiden untuk menggunakan cara politik menangani tentara! Celakanya Presiden setuju dengan cara-cara itu. Pak Sim memegang teguh prinsip militer dan karenanya tidak setuju dengan cara-cara tersebut.

Pak Sim dianggap bersalah, dipanggil Jaksa Agung dimintai keterangan tetapi tidak pernah diadili. Banyak orang menganggap Pak Sim memimpin kudeta atau memberontak pada pimpinan negara. Dalam bukunya Pak Sim menjelaskan bahwa dalam keterangannya kepada Jaksa Agung beliau menulis, “Seandainya yang dituduhkan itu benar (melakukan kudeta atau mengambil alih kekuasaan), militer tidak akan gagal”. Dari tulisan itu nampak sebuah keyakinan dan optimismenya. Pengalamannya bergerilya bersama seluruh angkatan perang yang bahu-membahu bersama rakyat memberikan keyakinan itu.

Mengenai peristiwa itu dijelaskan oleh Pak Sim dalam bukunya “Membuktikan ketidakbenaran Suatu Mitos”. Angkatan Darat pun sudah siap untuk itu. Di ruangan Mabes AD Gatot Subroto langsung bertanya kepada pak Sium yang baru masuk ruangan, “kapan?” Dijawab oleh Pak Sim, “apanya yang kapan?” dialog itu menggambarkan bahwa AD siap merebut kekuasaan dan tinggal tunggu waktu! Namun Pak Sim memang tidak bermaksud merebut kekuasaan! Pak Sim tidak pernah berpikir untuk melakukan kudeta! Pak Sim berpikir tentang bangsa ini jauh ke depan.

Namun antiklimaks dari peristiwa itu adalah, dengan UU tentang Pertahanan yang Pak Sim ikut menyumbangkan pemikirannya, jabatan KSAP dihapuskan dan dengan demikian jabatan untuk Pak Sim ditiadakan! Sebuah jalan keluar yang sangat menyakitkan, namun Pak Sim menerimanya sebagai sebuah kenyataan yang harus dijalani. Itu sebuah realitas sejarah yang dihadapi oleh Pak Sim secara optimis yang dalam bahasa iman berpengharapan: Realisme yang berpengharapan! Bahkan di hari-hari kemudian dalam refleksinya Pak Sim selalu mengatakan bahwa penghapusan jabatan itu sebagai “blessing indisguish”.

Kebijakan Presiden Soekarno itu tidak membuat Pak Sim marah atau sakit hati dan kemudian ingin balas dendam. Hubungan semakin renggang iya, tetapi tak ada pikiran untuk membalas kejahatan dengan kejahatan. Tidak sama sekali! Yang dipikirkan dan membuatnya prihatin adalah Angkatan Perang semakin menampakkan perpecahan! Terjadi saling curiga di kalangan pimpinan Angkatan Perang. Karena itu ketika diminta memberikan sumbangan pemikiran mengatasi perpecahan dan kemacetan yang terjadi di AP, di Jogjakarta tahun 1955 Pak Sim menganjurkan para perwira AP menyelesaikan hal-hal yang menimbulkan masalah diselesaikan, dengan cara menghilangkan sikap saling curiga dengan mengutamakan kepentingan negara dan angkatan perang. Kumpulan tulisan yang merupakan “wejangan” Pak Sim untuk para perwira militer diterbitkan dalam sebuah buku berjudul “Pemerintah, Masyarakat, dan Angkatan Perang” tahun 1960.

Sikap mengutamakan pembangunan tentara yang maju dan modern demi kepentingan dan keutuhan negara juga ditunjukkan ketika berdiri Pemerintahan Rakyat Republik Indonesia (PRRI). Beliau didatangi oleh seseorang dari kedutaan besar Amerika, yang mengatakan, “Kalau saudara setuju bergabung dengan pemerintahan PRRI, maka besok Amerika akan memberikan dukungan”. Pak Sim marah dan diusirnya orang itu! Pak Sim tidak mau negara yang telah diperjuangan bertahun-tahun itu terpecah-pecah!

Semua peristiwa itu menunjukkan bahwa Pak Sim sangat mencintai negeri ini dan sangat mendambakan negeri ini tumbuh dan terus membangun untuk menjadi negeri yang maju, makmur dan berkeadilan social. Pembangunan yang dibayangkan Pak Sim adalah pembangunan yang mewujudkan pengamalan Pancasila. Itu sebabnya tanpa pernah lelah Pak Sim menyumbangkan pemikirannya untuk bangsa ini.

Beliau begitu bangga dengan karya generasi 45 yang dikatakan sebagai generasi pembebas. Generasi inilah yang dibayangkan membawa bangsa ini membangun dan menuju tinggal landas. Dengan optimismenya Pak Sim memiliki harapan yang besar terhadap Orde Baru, mampu melakukan regenerasi mengalihkan erstafet kepemimpinan bangsa kepada generasi berikutnya. Beliau memberikan gambaran bahwa tahun 1945 memilih Soekarno, tahun 1949 memilihnya lagi menjadi Presiden RIS dan selanjutnya kembali ke negara kesatuan orang yang sama yang dikukuhkan sebagai presiden.

Hal itu diulangi oleh Orde Baru. Maka Pak Sim berharap tahun 1993 terjadi alih generasi secara nyata. Beliau menulis, “Setiap kali pemilihan presiden kita mengukuhkan tokoh yang memang de facto menjadi pemimpin kita……Pada tahun 1993 kita menghadapi hal baru yaitu memilih presiden tanpa mengukuhkan presiden lama……….untuk memilih presiden tanpa mengukuhkan presiden yang lama kita harus menjawab pertanyaan, yaitu apa, bagaimana, dan siapa………………….”

Sebelum memasuki tahun 1993, Pak Sim telah dipanggil oleh Tuhan! 1 Januari 1990 Pak Sim menghadap Tuhan. Beliau tidak sempat menyaksikan peristiwa tahun 1993. Saya terlibat di dalam peristiwa 1993 itu sebagai anggota MPR. Tidak ada pemilihan presiden! Tidak ada regenerasi. Bahkan ketika mengusulkan nama lain sebagai calon presiden, seluruh pparat menjadi tegang! Itu sebabnya saya katakan di judul tulisan ini “Tuhan Sungguh Sayang Sama Pak Sim”. Kenapa? Tuhan memanggilnya kembali ke pangkuan-Nya supaya beliau tidak merasa sedih atau kecewa terhadap generasi pembebas yang berjuang bersamanya menegakkan republik ini, yang ternyata tidak seperti yang beliau bayangkan! Saya berpikir, Pak Sim sebagai orang Kristen yang sangat saleh tentu berpikir tentu percaya bahwa Tuhan menciptakan manusia itu baik adanya sebagaimana tertulis dalam Kejadian 1! Tuhan juga “membuat manusia hampir sama seperti Allah dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat” seperti dalam Mazmur 8.

Beliau dengan optimis dan sikap positifnya membayangkan generasi pembebas seperti itu. Namun dalam kenyataannya iblis yang telah menggoda Hawa dan bersama Adam, mereka jatuh ke dalam dosa masih terus berkeliaran, menggoda manusia! Kerakusan akan kekuasaan dan ketamakan akan uang telah membuat manusia lupa bahwa ia hanya makhluk yang memiliki batas. Bayangan dan harapan Pak Sim bahwa generasi pembebas akan mengantarkan bangsa ini kepada pintu gerbang kemakmuran, membawa tinggal landas, dipatahkan oleh kerakusan dan ketamakan itu, ditambah dengan perselingkuhan ideologis.

Perjuangan yang mengorbankan harta dan nyawa dalam menegakkan negara yang berdasarkan Pancasila ini masih terus harus diupayakan. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikatakan menyelesaikan secara definitive Negara Pancasila versus Negara Islam masih terus diganggu dengan gejolak yang begitu nyata dan keras!

Pak Sim tidak lagi menyaksikan maraknya radikalisme serta mengerasnya ideologi yang berdasarkan agama yang diwujudkan dalam keberingasan-keberingasan yang diakibatkan oleh mabuk agama. Tuhan sungguh sayang sama Pak Sim. Pak Sim tidak pernah menyaksikan bahwa kerakusan kekuasaan, ketamakan akan uang (sehingga korupsi merajalela), perselingkungan ideologis semakin nyata di depan mata.

Reformasi telah berlangsung, namun Pak Sim paham betul bahwa reformasi tidak boleh berhenti. Tetapi Pak Sim tidak menyaksikan bangsa ini mengalami reformasi. Karena itu terjadilah kalimat dalam Filipi 1: 21 “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan”.

Pak Sim telah menyelesaikan tugasnya di dalam Kristus, dan kini hidup bersama-Nya! Tuhan memang sungguh sayang sama Pak Sim. Kini menjadi tugas generasi berikutnya untuk meneruskan perjuangan Pak Sim dan kawan-kawannya, Generasi Pembebas. Generasi milenial berkewajiban memikul tanggungjawab negeri ini. Membangun Negara Indonesia yang adil makmur berdasarkan Pancasila, tidak hanya dalam kata-kata, tetapi harus nyata!

Pondokgede, 28 Januari 2020

Pos terkait