Medan – fnews – Kabar sahabat banyak aktifis, Parlindungan Sibuea, enak dan akrab dipanggil dengan Lindung, sudah dipanggil Tuhan, Kamis (26/03-20), mengejutkan banyak pihak. Status rekan-rekannya segera memenuhi halaman facebook, whatsApp dan website atau media sosial lainnya dengan satu ucapan, selamat jalan….
Lindung, kelahiran Siantar 22.11.71 itu, dikenal sebagai jurnalis yang sangat serius di sebuah media di Medan, selama beberapa hari itu memang terbaring sakit dari sebuah rumah sakit ke rumah sakit lainnya di Ibukota Provinsi Sumut itu. Berbagai komentar pun ditulis banyak rekan aktifis lainnya.
Di antaranya Sahala Saragih, dari Balige, menulis di akun facebooknya bahwa Lindung adalah seorang Pejuang Reformasi Dan Wartawan Bersih dan memanggilnya dengan Bang Lindung Sibuea.
Sebuah buku disebut Sahala diterimanay dari Lindung tahun 1998 saat terjadinya gerakan Reformasi di Indonesia.
Selanjutnya Saragih menuliskan, kita juga pernah aksi bersama turun ke jalan menyuarakan tentang kebebasan menjalankan ibadah dan mendirikan rumah ibadah di Medan – binjai dan Tarutung.
Abang pernah ditangkap dan dipukuli di Tarutung saat kita mencoba untuk masuk ke Kantor Pusat HKBP, ketika itu dijaga oleh ratusan petugas.
Tahun 2017 hingga tahun 2018, Abang sering menulis tentang kegiatanku memprotes perambahan Hutan Dolok Imun Siborongborong, ujar Sahala dan menyebutkan semua pejabat sipil dan militer kagum melihat keberanian dan ketulusan abang dalam berjuang. Abang tidak pernah menerima atau meminta uang dari siapapun.
“Selamat jalan Abangku Lindung Sibuea, suatu saat kita bertemu di Sorga”, tulis Sahala Saragih.
Shohibul Anshor Siregar juga menuliskan di akun facebooknya, lengkapnya,
Dia Pergi
Saya tak tahu ia jurnalis yang bekerja untuk media mana. Tapi suatu ketika telah saya gabungkan ia dengan beberapa jurnalis dan aktivis yang sama-sama meminta waktu untuk diskusi tentang Sumut dan pemimpinnya.
Waktu itu kepemimpinan Gatot Pujonugroho akan berakhir dan tahapan Pilgubsu 2013 sudah dimulai.
Saya merasakan bahwa mereka semua, para jurnalis yang berkumpul di ruang kerja saya yang sempit di kampus itu, ingin agar saya bicara tentang good governance dan clean government. Lebih spesifik lagi mereka ingin bukan koruptor yang jadi gubernur.
Bagi saya mudah meyakinkan bahwa topik itu useless dan saya pun ikut rugi jika tinta ditumpahkan ke kertas yang asalnya kayu dari hutan yang ditebang hanya untuk mencatat pikiran kerdil dan sesat tentang korupsi. Mereka semua bisa menerima.
Saya mulai dengan memperkenalkan semua gubernur yang pernah memimpin di Sumut. Lalu saya beri catatan legacy mereka. Waktu itu saya tak begitu “respek” kepada catatan-catatan yang saya temui tentang Gubsu pertama sehingga di antara gubernur berlegacy kuat itu dalam pandangan saya ialah Abd Hakim Harahap, Marah Halim Harahap, EWP Tambunan dan Raja Inal Siregar.
Ketika pokok pikiran ini saya tulis menjadi artikel koran, Ichwan Azhari, sejarawan dari Unimed protes. Katanya tidak fair jika gubsu pertama tidak masuk sebagai pemilik legacy.
Saya mendengar saja dan akhirnya saya katakan bahwa Rizal Nurdin juga harus dicatat mengawal transisi orde baru ke reformasi dan peran itu memang tak sampai sedahsyat peralihan orde lama ke orde baru yang cukup mulus di tangan Marah Halim Harahap. Pandangan ini pun sejalan dengan Amir Purba dari USU.
Ia menanyakan khusus mengenai EWP Tambunan dan legacynya apa padahal saya sudah menjelaskan. Saya tertawa mengawali penjelasan ulang yang membuat dia puas.
Setelah pertemuan itu ada dua hal lain yang menyusul beberapa waktu kemudian. Pertama, ia mengundang saya untuk diskusi pada kelompoknya. Saya tak memiliki waktu menghadirinya.
Kedua, saya menyusun bahan dan data yang lebih kuat untuk legacy para gubernur Sumut itu dan kemudian membuat sejumlah video tentang itu yang kemudian diupload ke youtube.
Pertemuan usai. Bubar. Semua pergi. Tetapi belasan menit kemudian ia mengetuk pintu. Rupanya jacketnya ketinggalan.
Ia Parlindungan Sibuea. Ia yang telah pergi dinihari tadi. Ia yang tak sempat saya kunjungi dalam perawatan sebelum pergi selamanya.
Aktifis lainnya seperti Sahat Lumbanraja menulis sebagai berikut,
IN MEMORIAN LINDUNG SIBUEA.
(Tokoh Gerakan Mahasiswa 1998 yang terlupakan)
Aku tak terkejut mendengar kematianmu. Sebab beberapa hari sebelum kepergianmu, kawan-kawan sudah memposting kondisimu (gambarmu) sedang terbaring di rumah sakit. Wajahmu pucat pasi kurus, tak sadarkan diri dalam kondisi kritis. Tanda-tanda kematian telah terlihat. Walau aku tak menyangka secepat ini. Engkau tiada, pada Kamis, 26 Maret 2020, pukul 02.00 di RS Elisabeth Medan. Aku benar-benar sedih berduka, apalagi, aku tak mampu memberikan serupiah pun untuk membantu biaya pengobatanmu.
Parlindungan Sibuea, kami memanggilnya bung Lindung. Dia juniorku di Fakultas Teknik USU, Jurusan Teknik Elektro. Angkatan 89. Aku sendiri di jurusan Teknik Sipil Angkatan 86. Perkenalanku lebih dekat dengannya lewat GMKI Koms Fak Teknik USU. Aku tidak tahu apa dan siapa yang mempengaruhinya jadi aktivis. Ia tak sempat menyelesaikan kuliah, akibat larut dalam aktivisme dan kesulitan biaya.
Sosoknya pendiam, simpatik dan mudah senyum. Orangnya berani dan tidak kenal kompromi. Sejak tahun 1990, dia telah terlibat dalam berbagai bentuk gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat. Ikut dalam gerakan menumbangkan Soeharto, yang di tahun 1996 sd 1998 Lindung telah aktif mengorganisir buruh di kawasan jalan Binjai, Mabar dan Tanjung Morawa.
Aku hormat (salut) dengan keberaniannya mengambil resiko, dan konsistensinya untuk tidak berkompromi dengan penguasa dan pengusaha, walaupun dalam situasi yang sangat sulit dan mendesak. Teguh dalam pendirian dan idealisme menjadi karakter utamanya. Di zaman represifnya rezim Soeharto, Lindung ikut berjuang dalam gerakan HKPB menolak campur tangan militer dalam urusan gereja. Penangkapan dan penyiksaan ketika itu tidak membuatnya surut.
Kemampuannya mengorganisir rakyat begitu luar biasa. Mampu membangkitkan keberanian buruh dalam melakukan pemogokan di pabrik-pabrik dalam situasi represif. Tak lama setelah kejatuhan Soeharto, Lindung mengorganisir pemogokan Supir Angkot terbesar di Indonesia setelah orde baru, yang tergabung dalam KESPER, bersama-sama dengan Aliansi Gerakan Reformasi Sumatera Utara (AGRESU).
Sekitar tahun 2005 di berangkat ke Jakarta, aku mendengar kabar dirinya menjadi seorang wartawan. Sepak terjangnya di Jakarta saya sendiri tidak banyak tahu. Sekembalinya dari Jakarta, sekitar tahun 2007 kawan Lindung balik ke Medan, kembali menggeluti dunia wartawan. Mungkin Jakarta tak cocok buatnya. Idealismenya sebagai seorang jurnalis tetap tidak berubah. Tak mau menerima sogokan, dalam menerbitkan atau menghentikan suatu berita.
Lindung sosok aktivis yang selalu bermimpi terbangunnya satu kekuatan rakyat, demokrasi sejati. Dia sering nyeletuk mengkritik tingkah laku para aktivis yang bekerja di NGO, jurnalis, dan sebagian kecil berhasil menjadi pengusaha, dan sebagian sukses menduduki parlemen, dan jabatan public lainnya.
“Apa gunanya jadi aktvis yang berbicara/ berdiskusi tentang banyak hal mengenai idealisme, demokrasi, jika perilaku kita tidak berbeda dengan orang-orang yang kita kritik selama ini. Masa kita sama saja dengan mereka”, begitulah Lindung selalu berujar.
Saya teringat seorang kawan yang juga telah berpulang, Harold H Sinaga pernah berujar. “Tidak ada orang miskin yang idealis.” Katanya suatu ketika, untuk menegaskan pentingnya uang dan gerakan ekonomi. Mungkin maksudnya tidak ada aktivis miskin yang idealis.
Tak banyak, tetapi ada yakni Lindung, yang konsisten bertahan dalam kekurangan. Kemiskinan tidak menjadi penghambat untuk mempertahankan idealisme. Lindung tak turut serta berebutan dari sisa remah-remah milik penguasa dan pengusaha.
Kawan Lindung, perenungan hidup bagi kita sering melawan arus. “Ketika perjuangan berhasil, yang berjuang berdarah-darah belum tentu menikmati/ mendapatkan kue hasil perjuangan. Sebaliknya, yang menikmati hasil perjuangan belum tentu orang yang berjuang, yang berjuang belum tentu dikenang, yang dikenang belum tentu berjuang. Hati yang iklas menjadikan jiwa kita lega. ” Begitulah kenyataanya.
“Bung Lindung, aku minta maaf sebagai kawanmu, sebagai abangmu yang sekian lama tidak mampu memberi bantuan kepadamu. Aku tidak sekuat dirimu. Saat ini, aku sedang berjuang merebut remah-remah dari penguasa dan pengusaha yang tak pasti. Aku malu, tak mampu sekuat dirimu. Doakan aku dari surga, agar menjadi kuat sekuat dirimu.
Aku masih percaya akan tiba suatu masa di mana rakyat, buruh, petani dan kaum miskin di desa dan di kota – kota, bersatu merebut kedaulatan rakyat, mewujudkan satu tatanan baru yang berperikemanusiaan yang adil dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Malam sebelum kepergianmu, aku masih sempat berdoa untuk kesembuhanmu. Hanya itu yang bisa kulakukan.
Selamat Jalan kawan Lindung, Selamat jalan menuju ke keabadian. Semoga kepergianmu menghidupkan kembali idealisme perjuangan yang engkau tinggalkan, tulis Sahat Lumbanraja dari Jakarta.
Kariana Siringo-ringo dari Jakarta juga menulis untuk Lindung, bagiku engkau adalah sosok wartawan terbaik, tak mengenal lelah…cukup lama kita berkomunikasi tiada jenuh2nya kamu membina saya, mengajari dengan sepenuh hati, kamu pahlawan bagiku, akan kukenang selalu nasehat2 mu…sayang terlalu cepat engkau pergi…SELAMAT JALAN SAUDARAKU, ITOKU YG HEBAT……
♡ KAU TETAP SAHABATKU ♡ Ini tulisan Sipa Munthe, Pagi ini aku terbangun dari tidurku. Waktu menunjuk pukul 06.20. Kubaca kabar kepergianmu kawanku dari status yang dibuat Bg Poltak Simanjuntak, apparaku Jurnalis Medan Bisnis.com, Sasli Pranoto Simarmata, dan Bang Ingot Simangunsong.
Kau berangkat bersama malaikat Surga sekitar pukul 02.00 pagi ini, Kamis, 26/03/2020, dari RSU Santa Elisabeth Medan. Saat kami mungkin sedang tertidur lelap.
Entah sudah yang keberapa kali kau mengatakan bahwa usiamu tak lama lagi. Kau ingat kawan, aku protes omonganmu itu walau mungkin saat itu kau agak kecewa karena aku agak marah mendengar omonganmu itu. Yah, di DPRD Sumut hal itu berulang kali kaunyatakan. Kini kusadari kalau kau mau permisi pulang ke Rumah BAPA kawan. Aku yang saat itu tak mengerti akan maksudmu, merasa kecewa. Sampai kau membesuk dua kali saat ibuku opname di RSU St. Elisabeth. Kau benar benar pergi jauh sekarang kawanku.
Terlintas kembali semua kebersamaan kita kawan. Ada canda tawa dan juga pertengkaran antara kita. Mulai saat kita buat ARSUD, Aliansi Rakyat Sumatera Utara Untuk Demokrasi di Sekretariat GMKI Medan, sampai mengadvokasi buruh di Batangkuis, maupun mengadvokasi petani di Langkat dan di Dairi.
Bagaimana kita mengorganisir rakyat di Dairi untuk mereformasi daerahnya sekitar tahun 1999. Kadang kita berangkat pagi dan tak jarang malam hari. Kita berdua saat itu. Kita sepakat untuk pura pura tidak saling kenal dan kita banyak bercakap dengan para penumpang bus yang kita tumpangi kala itu. Kita berupaya mengenal banyak warga masyarakat disana lewat cerita dan curhatan persoalan atau masalahnya yang mereka sampaikan kepada kita selama di perjalanan bus itu.
Aku kadang terkejut saat mengorganisir rakyat bersamamu. Kau begitu gampang berbaur dengan masyarakat dan tiba-tiba kau sudah berada di tempat lain. Tak sungkan kau menyapa mereka yang tua, muda, anak anak, perempuan, atau lelaki. Dan tak sungkan juga kau membentak dan melempar mereka dengan spidol tatkala mereka asyik bercakap ketika kau memberikan penjelasan atau pengarahan dalam setiap rapat rapat di rumah rumah warga.
Sering sesudah mengorganisir rakyat, kita berdua ke rumahmu di Cemara. Sering kita berpapasan dengan abangmu yang anggota salah satu OKP dan kau acap menyindirku sambil bercanda, “Apa dia anggotamu juga ?”.
Masih kuingat ketika kita bertiga berangkat ke Kaban Jahe bersama Arya Sinulingga, saat mau makan siang di salah satu rumah makan, kau lap piringku buat makan. Aku marah padamu saat itu dan kubilang, “Tak usah kau lap lap piringku. Aku juga bisa melapnya.” Tapi kau tetap melapnya kawanku meski kau tahu, aku masih marah padamu saat itu karena kau menudingku bagian intel.
Masih kuingat bagaimana kita dan kawan kawan mengorganisir para petani. Kau sangat cekatan dan tak ada waktu kita untuk berhenti. Keluar masuk kampung dan daerah. Kita berdua mengorganisir para petani itu dan Turunan Gulo membuat brosur serta statemen perjuangan para petani yang kita advokasi. Kita bertiga kala itu sering tidur bersama di Sekretariat kita, AGRESU, Aliansi Gerakan Reformasi Sumatera Utara. Sampai lahirlah GERAG, Gerakan Rakyat Untuk Reformasi Agraria.
Ada bang Willem Nibezaro Hulu Zaro, sopir KPUM yang kita ajak untuk membangun organ perjuangan para supir. Dengan berbagai kendala dan tantangan maupun ancaman di lapangan, kita berhasil membentuk organ perjuangan mereka, KESPER, Keluarga Besar Supir Pendukung Reformasi. Mulai dari terminal Amplas, stasiun KPUM di Tanjung Sari, sampai Pinang Baris, tak lelah kita bergerak terus kawan.
Dan setiap kali sepulang mengorganisir rakyat, kita berdiskusi bersama dengan bg Parlin Manihuruk, Ramses Simbolon, maupun Turunan Gulo. Kita ajak kawan kawan NGO maupun adik adik mahasiswa dari kampus Unika St. Thomas, Nomensen, UMSU, USU, maupun UIN yang dulu masih bernama IAIN.
Ada Mangasi Tua Purba, Lindawati Simanjuntak, Simson Juntak, Benhard Nababan, almarhum Petrus Nainggolan, Laurencius Sitanggang, Wahyu Hadika Muhammad, dan masih banyak lagi para pejuang rakyat yang tak bisa kusebutkan lagi satu per satu.
Kita juga berjuang untuk warga masyarakat Tapanuli Utara terkait soal perusahaan di sana. Banyak organ yang saat itu kita bentuk. Ada DMUD, Dewan Mahasiswa Untuk Demokrasi. Ada DBUR, Dewan Buruh Untuk Reformasi, yang dibuat kawan kita, Anitra Sitanggang, Riyanti Mahardika, dan masih banyak lagi.
Kini kau sudah bersama BAPA di Surga. Bersukacitalah kau disana kawanku. Kau sudah terhibur dengan kehadiran para Malaikat Surga bernyanyi bersamamu. Aku dan kami yang kau tinggalkan, akan tetap mengingatmu hingga kami juga akan menyusulmu kelak.
Sipa Munthe, juga seorang aktifis dan dekat dengan Lindung menuliskan status facebook-nya dengan judul, KARENA DIA MILIK BAPA ● Semua kembali ke tanah. Selamat jalan sahabatku, saudaraku, Parlindungan Sibuea. Usai sudah tugasmu di dunia fana ini. Kamilah yang akan melanjutkan perjuangan kita yang belum terwujud, #Kedaulatan_Rakyat. Kau telah bersama BAPA di SURGA. Bebanmu telah hilang. Sekarang kau telah bernyanyi dan bersukacita bersama para Malaikat Surga. DAMAILAH DALAM TIDUR PANJANGMU. #SatuHilang_DuaTerbilang
Salam dari beremu, Jesson Munthe yang juga merasa sedih ketika anakku itu membaca statusku atas kepergianmu.
Sabar dan kuatlah kau Inang, Ito, Laeku. Biarlah kehendakNYA yang jadi dan panjatkanlah semua beban keluh kesahmu kepada TUHAN karena DIA senantiasa memberkati kita semua yang percaya, Amin
Sri RM Simanungkalit juga menulis panjang di akun facebook-nya, bertajuk,
SELAMAT JALAN, SANG ORGANISER…
Pukul 03.28 wib, Sasli Pranoto Simarmata menelpon Parlindungan Sibuea sudah pergi, di pukul 02.00 wib. Aku telpon Jansen Agoesman Lto. Kami sepakat bahwa tidak mungkin kami pergi melayat ke rumah duka, di masa ‘social distanting’ ini. Kami juga sepakat RS lebih aman untuk memberi penghormatan untuk makhluk langka yang kami kasihi. Lagipula kami juga harus menyerahkan bantuan kawan-kawan. Jadi harus gerak cepat, jangan keburu jenazah dibawa pulang.
Di parkiran RS Elisabet, kami turun dari mobil masing-masing. Bersepatu, bertopi, berjaket dan bermasker. Tak lupa kuselipkan ‘hand sanitizer’ di kantungku. Kami permisi pada satpam. Setelah cek suhu baru kami dijinkan masuk.
Di depan loket kasir, ruangan sepi. Hanya ada istri, ito dan lae Lindung. Jansen langsung menyapa istrinya. Istrinya terisak. Saat melihatku, refleks istrinya ingin bergerak memeluk. Aku memberi tanda, tetap menjaga jarak. Aku bahkan tidak menyalaminya. Kami duduk berjauhan di ruangan yang sepi itu. Hanya kami berlima.
Oalah, tulang Lindung, kenapa harus pergi saat Corona begini? Kesedihan pun jadi punya SOP, Standard Operational Procedure.
Sejak awal sudah kutekadkan, tidak akan menangis. Dan itu berhasil. Selama 30 menit kami hanya duduk diam. Dengan pikiran masing-masing. Tapi tiba-tiba, Jansen terisak di kursi di belakangku, “Rikkkkk…, sudah tiga kawan kita tidur sama di Agresu yang pergi, Rikkkkk…”
Aku pun terisak. Jansen masih meratap di belakangku, “Petrus, Kristin, Lindung., Aku meralatnya, “Lima, Sen, ada bang Poltak Galigging dan bang Dayat.”
Jansen membantah, “Mereka memang sama-sama Agresu, Rik, tapi yang tiga ini kawan kita tidur di sana. Di emperan itu, Rikkkkkk…, makan nggak makan. Indomie kita bagi-bagi.”
Istri Lindung pun ikutan meratap mendengar kami berdua terisak, “Bang, rencana kita mau ngangkat anak, tapi kau tinggalkan aku sendiri, bang… Kau bilang harus ke Penang, biar sembuh kau, tapi pergi kau, bang…”
Di kursi yang berbeda, berjarak dua meter satu sama lain, kami sama-sama meratap. Marsiboan andungna. Paet nai!
Pindah ke depan ruang jenazah, istri dan itonya masih menangis dan meratap. Bang Turunan Gulo pun sampai di RS. Bertiga kami masuk ruangan jenazah. Lindung sudah dimandikan, diberi jas, didandani dan diformalin. Ganteng dia.
Prosesnya sangat singkat. Lindung dimasukkan ke peti. Ditutup. Dinaikkan ke ambulans. Kami bertiga mohon ijin pada keluarga untuk tidak melayat ke rumah duka, demi memutus mata rantai Corona.
Ambulans berangkat. Dalam duka kami bertiga segera pulang ke rumah masing-masing.
Begitu banyak doa untukmu, tulang. Begitu banyak kasih sayang. Kemarin hampir semua aktifis di Kota Medan bergerak untukmu. @mulanasamosir dan Barita Lumbanraja memaksa membawamu ke Elisabet kemarin, saat kau sudah minta pulang ke rumah dari RS Adam Malik. Sri Anzoe Simanjuntak, Evi Sembiring Meliala, Sarma Hutajulu, Poltak Simanjuntak, Sipa Munthe menghalo-halokan penggalangan dana buatmu.
Bahkan banyak kawan-kawan yang lain membuka dompet peduli untukmu. Tak tersebut satu per satu. Semua bergerak. WA, SMS dan telpon tak berhenti sampai tengah malam. Bertanya kabar, memberitahu sudah transfer, berkomitmen bahwa semua akan bekerja keras bergotong royong menggalang dana buatmu. Bang Parlin Manihuruk bilang harus berangkat ke Penang bersamamu.
Betullah kau Sang Organizer itu, Lindung! Sebelum mati pun, kau organisir kami yang berserak ini untuk kembali bersolidaritas. Maka hari ini, pun ada lautan airmata untukmu. Dalam diam, dalam hening, dalam sunyi, kami menangis. “Selamat jalan, Sang Organizer! Surga menyambutmu….”, ujar Sri menutup akunnya.
Hal sama juga diakui Parlin Manihuruk salah seorang tokoh pendiri AGRESU. Menurut Parlin, selain aktif di AGRESU dan lembaga lainnya, Lindung juga terlibat dalam perlawanan di masa pergolakan HKBP dan menentang sinode godang versi pemerintah. Termasuk juga menentang PT Indorayon yang kini menjadi PT TPL.
“Ia juga aktif mengorganisir buruh dan melakukan perjuangan bersama. Setelah situasi aman dan semua rakyat sudah leluasa sekitar tahun 2004, Lindung pergi dan jadi wartawan di Jakarta. Tapi ia tak lupa dengan temannya yang di Sumut. Jika ada warga Sumut yang melakukan tuntutan ke Jakarta, Lindung menjadi fasilitatornya,” akunya.
Salah seorang aktivis 1998 lainnya yang merupakan junior Lindung, Sri RM mengatakan, Lindung seorang aktivis sejati tanpa kompromi. Meski selalu tegas dalam bersikap, tapi dia selalu santun pada semua orang.
“Hidupnya diabdikan untuk kemanusiaan, kebenaran dan keadilan. Setia berjuang bersama rakyat tanpa pamrih. Hidup sampai matinya tetap dalam kesederhanaan. Ia malaikat yang tersesat di bumi. Suatu kehormatan bisa mengenalnya,” kata Sri.
Testimoni juga disampaikan salah seorang praktisi lingkungan yang juga inisiator Geopark Kaldera Toba, Alimin Ginting. Dikatakan Alimin, Lindung sosok yang memiliki integritas dan idealisme tinggi terkait demgan kegiatannya sehari-hari sebagai jurnalis.
“Dia lebih suka mencari berita yang membawa dampak positif dan menebar pengetahuan terhadap masyarakat pembaca dengan kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan. Yang dia cari kualitas berita, bukan uang,” tutur Alimin seperti ditulis Reporter JONES GULTOM Editor HISAR HASIBUAN.
Efendy Naibaho