Surya Darma Hamonangan Dalimunthe*
ALKISAH, ada seorang petani Rusia bernama Pahom yang bertemu satu kelompok suku nomaden. Kepala suku menawarkan kepada Pahom, “Beri kami 1.000 rubel dan kamu bisa memiliki semua tanah yang dipijak kakimu dalam satu hari ini.” Dengan tamak, Pahom berlari secepat dan sejauh mungkin. Namun, ketika berlari menuju kepala suku menjelang matahari terbenam, nafas Pahom terengah-engah. Dia terjatuh sebelum menemui kepala suku, meninggal dunia karena kelelahan setelah berlari seharian.
Kisah di atas diceritakan Leo Tolstoy dalam cerpennya yang berjudul “How Much Land does a Man Need?” (Berapa Banyak Tanah yang Dibutuhkan seorang Manusia?) Ternyata, seperti yang diucapkan hamba sahaya Pahom di akhir cerita, manusia hanya membutuhkan tanah seluas tubuhnya ketika mati, yaitu tempat dia dikubur. Demikian diulas Jerry Brotton dalam resensinya di koran Telegraph Inggris tentang buku fenomenal Andro Linklater, “Owning the Earth” (Memiliki Bumi).
Buku Linklater yang bersub-judul “The Transforming History of Land Ownership”, sejarah transformasional kepemilikan tanah, memang luar biasa. Buku ini menceritakan bagaimana kepemilikan tanah secara pribadi (private property) selama dua ratus tahun terakhir telah menjadi kekuatan budaya yang paling destruktif namun kreatif dalam zaman modern. Bentuk kepemilikan tanah sangat terkait bukan hanya dengan bentuk ekonomi penduduk dunia, tetapi juga struktur dan pandangan sosial mereka.
Di ‘Barat’, kepemilikan pribadi telah menghancurkan peradaban tradisional komunal dari Amerika hingga Selandia Baru. Namun ia juga telah menghasilkan konsep kebebasan individu yang khas, dengan konsep pemerintahan perwakilan dan lembaga-lembaga demokrasi yang menyertainya. Peradaban-peradaban besar lain, seperti di Rusia, Cina, dan dunia Islam, memiliki konsep kepemilikan pribadi yang lebih ‘sosialistis’, sehingga menghasilkan konsep pemerintahan yang lebih ‘sosialistis’ pula.
Sayang di Indonesia, yang dihuni mayoritas Muslim, sekarang sepertinya mengadopsi konsep kepemilikan pribadi Barat, setelah kegagalan Soekarno melanggengkan Reformasi Tanah/Agraria yang digagasnya. Implementasi kepemilikan pribadi di Indonesia sejauh ini sepertinya hanya membawa kehancuran. Contoh terbaru adalah fenomena kavling-kavling di Danau Toba dengan alasan pembudidayaan peternakan ikan mas dan ikan nila dengan jaring apung (keramba).
Pengkavlingan Danau Toba untuk pengadaan keramba ini telah menambah pencemaran di Danau Toba, karena setiap hari puluhan ton pakan ikan kimiawi ditebar ke dalam puluhan ribu keramba yang ada sana. Seperti biasa di Indonesia, yang terlihat adalah pemanfaatan ‘fasilitas publik’ (Danau Toba) untuk ‘keuntungan pribadi’ (pemodal keramba). Lebih buruk lagi, fasilitas publik ini dirusak dan dicemar sehingga tidak bisa digunakan lagi oleh publik (dalam bentuk wisata misalnya).
Andy Yanto Aritonang dalam liputannya di koran (Danau Toba Sudah Dikavling-kavling Dengan Pengadaan Keramba) melaporkan bahwa Danau Toba merupakan satu-satunya danau di dunia yang dijadikan tempat peternakan ikan dengan keramba. Lebih menyedihkan lagi, para nelayan tradisional kabarnya dibatasi untuk menangkap ikan, dengan larangan menebar jaring di kawasan keramba. Penduduk asli lain pun hanya bisa menjadi buruh kasar penjaga keramba dan penebar pakan.
Melihat kemirisan-kemirisan di atas, apa reaksi para ‘orang besar’ Indonesia yang memiliki keterkaitan erat dengan Danau Toba sejauh ini? Sangat baik jika mereka mengamalkan konsep ‘amar ma’ruf nahy munkar’ secara keseluruhan.
Kalau begitu, tuduhan Andre Vltchek dalam tulisan terbarunya ‘Indonesians Need Revolution!’ dapat dibenarkan, bahwa sudahlah pendidikan yang baik terbatas kepada para elite Indonesia dan anak-anak mereka, pendidikan ini digunakan mereka untuk mengambil lebih banyak lagi dari Indonesia, bukan memberi.
Bagaimana tidak? Bukan hanya fenomena kavling-kavling keramba yang menjadi masalah Danau Toba sekarang. Penambangan batu gamping di kaki Gunung Pusuk Buhit juga mengancam ekologi danau ini. Seharusnya, setelah ditetapkan sebagai Geopark Nasional, pengembangan ekonomi di kawasan ini dipilih yang lebih ramah lingkungan. Jaya Arjuna dalam makalahnya ‘Danau Toba Punya Jutaan Rahasia’ telah lama merekomendasikan kebijakan ‘lebih ramah lingkungan’ ini.
Arjuna menulis: “Mungkin kita telah memaknai secara salah cara “menjual” potensi wisata Danau Toba. Kawasan alami ini cenderung kita jual dalam kemasan kawasan terbangun. Dengan visi dan modal pas-pasan, tentu pertimbangan daya dukung serta daya tampung lingkungan tidak akan masuk dalam perhitungan pembangunan. Kawasan alami justru dirusak bangunan. Sebagian menganggap, uang masuk akan sebanding dengan jumlah wisatawan yang datang.”
“Padahal, makin tidak terjamah serta makin misterius tempat itu, maka makin mahallah harga objek wisata alam… Masih banyak orang yang belum tahu bahwa di atas Pulau Samosir ada dataran dan danau unik dan sangat indah. Kuatnya energi metafisik positif yang terpancar dari Pusuk Buhit sudah menyebar luas ke mancanegara. Banyak wisatawan minat khusus datang bersemedi, menyerap energi untuk memperbaiki kondisi fisik dan psikis.”
Atau kajian Elinor Ollstrom dan Linklater sendiri dapat diterapkan. Ollstrom adalah pemenang Hadiah Nobel Ekonomi tahun 2009, yang merekomendasikan bahwa sumber daya alam seharusnya tidak dikelola secara publik atau privat, seperti yang diketahui selama ini, tetapi melalui ‘commons’ (kepemilikan bersama oleh penduduk setempat). Fenomena ‘lubuk larangan’ di berbagai wilayah di Sumut adalah salah satu contoh kecil tapi nyata dari inisiatif ‘commons’ ini.
Linklater sendiri tahun ini wafat ketika sedang meneliti tentang kepemilikan komunal di pulau Eigg, yang sejak tujuh belas tahun lalu telah menjadi pulau pertama di Skotlandia yang dibeli oleh penduduknya sendiri dari tangan swasta sehingga menjadi milik masyarakat bersama (community ownership). Agaknya, di Danau Toba dan sekitarnya perlu dilakukan inisiatif sebegini, karena ‘kepemilikan publik’ dan ‘kepemilikan swasta’ selama ini telah terbukti tidak menjamin kelestariannya.
Enceng gondok, sampah dan keramba berlomba merusak pemandangan muka air Danau Toba. Tapak hotel bukan hanya berada di pinggir danau, sebagian malah dibangun dengan mengurug badan air danau (Jaya Arjuna, Danau Toba). Kalau begini kejadiannya, seperti kata pepatah serupa, air Toba telah dibalas air tuba. Namun para pemberi tuba ini lupa, mereka tidak akan bisa melawan Toba. Sekitar 70 ribu tahun lalu, Toba telah membuktikannya dengan memuntahkan debu vulkanik yang menyebar ke separuh bumi dan melenyapkan sekitar 60% jumlah populasi manusia bumi saat itu (Wikipedia).
Murka Allah bersama murka alam, yang selalu disebabkan oleh ulah manusia. Jangan sampai Danau Toba lelah ‘berbuat baik’ kepada kita, seperti ditulis Nada Suktri Pane dalam konteks lain di surat pembacanya baru-baru ini. Hentikan pemberian ‘air tuba’ kepada ‘air Toba’ dalam segala bentuknya. Bantu ‘Tim Percepatan Taman Bumi Toba’ agar Danau Toba terdaftar di UNESCO sesegera mungkin, sebelum Toba membalas dengan ‘tuba’nya. Kalau tidak sekarang, kapan lagi. Kalau tidak kita, siapa lagi!
*Penulis adalah Duta Muda Lingkungan Singapura 2006, konsultan bahasa dan kerjasama internasional ‘UIN Sumut’, pendiri ‘Taman Bahasa’ dan ‘Gerakan GIE’, serta penggagas ‘Dokter Inggris’. l en