RUU Danau Toba?

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Badan otorita ini secara eksistensial juga mereduksi kewibawaan traditional authority dan charismatic authority. Di Sileang-leang, Sigapiton, terjadi kegagalan dialog antara BPODT dan rakyat yang ingin otoritas tradisional adat diindahkan tentang tanah adat (ulayat)

SABTU (23/1) sore paralelitas pembangunan dibincangkan Intelektual Independen Indonesia dan Yayasan Pusuk Buhit dalam sebuah seminar dalam jaringan (Seminaring) dengan memfokuskan kajian optimasi pengelolaan Danau Toba. Selama ini didasarkan sebuah Peraturan Presiden RI (Perpres) No.49 Tahun 2016. Bagaimana jika ditingkatkan menjadi Undang-undang?

Bacaan Lainnya

Salah satu ciri khas pembangunan di banyak negara seperti Indonesia ialah paralelitas. Ia bicara menggebu tentang optimisme mengadopsi semua prasyarat industri 4.0. Namun saat bersamaan masih sangat terkendala kelemahan sangat mendasar. Ia bahkan tak mengenali rakyatnya sendiri saat akan membagikan bantuan penopang hidup di tengah bencana dan yang kerap salah sasaran.

Pada ketika lain ia juga sangat dahsyat mewacanakan pentingnya single identity number dalam administrasi kependudukan. Tetapi di dalam tubuhnya sendiri ada perlawanan yang dengan tetap berteriak antikorupsi justru mengorupsi dana yang dialokasikan begitu besar hingga program ini gagal dan berdampak pada kinerja demokratisasi (Pemilu, misalnya)—yang tetap teridentifikasi memberi sumbangan buruk atas akuntabilitas dan integritas. Tak malu-malu, dalam kebobrokan Pemilu itu, ia pun mengeluarkan secara rutin data indeks demokrasi (Indonesia, IDI) yang tak mencerminkan realitas.

Ia juga sangat menggebu dalam pewacanaan korupsi yang harus diperangi. Pada saat yang sama ia tak mampu menutupi perilaku tikus dalam tubuh birokrasi yang merongrong kewibawaan pemerintah karena bantuan untuk orang sekarat karena terpaan bencana pun dikorupsi.

Anehnya di Indonesia pemerintah tak perlu kehilangan wibawa dengan fakta-fakta paralelitas itu. Mobilisasi opini sangat dipentingkan, dan itu berbiaya mahal, sehingga rakyat sebetulnya diposisikan berjuang mengenali hidup dalam wujud realitas ganda. Tidak ada pembangkangan sosial (civil disobedience) bukan berarti Indonesia baik-baik saja, karena akar masalah dapat dijelaskan oleh berbagai instrumen politik dan hukum yang demikian kuat “menenteramkan”.

Secara juridis, kata Muktar Pakpahan, 8 pemerintah Kabupaten “pengawal” kawasan danau ini dibentuk berdasarkan UU dan koordinasi pembangunan kepariwisataan di sana pun sebaiknya juga didasarkan pada UU. Efendy Naibaho dari Yayasan Pusuk Buhit menegaskan tak hanya kewenangan yang lebih besar, tetapi peluang optimasi pembiayaan sangat diimpikan dengan perubahan status dan dasar hukum pengelolaan yang dimaksudkan itu.

Hampir tidak ada peserta tidak sepakat pendapat itu dan memilih memberi sumbang saran tentang bagaimana proses legislasi dapat didorong. Sebetulnya dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025, Danau Toba telah ditetapkan sebagai salah satu dari 88 daerah tujuan wisata yang termasuk ke dalam Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Disusul Perpres No.81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya.

Dengan Perpres No.49 Tahun 2016 dimaksudkan untuk melaksanakan pengembangan Kawasan Pariwisata Danau Toba sebagai KSPN dengan membentuk Badan Otorita Pengelola yang secara eksekutorial tugasnya diamanahkan kepada sebuah badan di bawah sebuah Dewan Pengarah yang diberinama Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT). Badan ini direncanakan bekerja 25 tahun (berakhir 31 Desember 2041) dan dapat diperpanjang.

Lalu apa sebetulnya alasan di balik usulan. Sejauh ini orang selalu berdecak kagum. Menko Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dalam sebuah paparan berjudul “Program Pembangunan Kawasan Danau Toba dan Sumatera Utara, Sinergi Pemerintah-Gereja-Komunitas dalam Pengembangan Pariwisata dan Pertanian di Kawasan danau Toba” (3 Februari 2018), memperkenalkan konsep Western Indonesia Economic Hub and Business Hub for ASEAN.

Untuk Lake Toba MICE and Tourism dideskripsikan meliputi MICE, Resort, Geopark dan Leisure & entertainment. Sebaran proyek infrastruktur meliputi Bandara Sibisa, Pelabuhan Tiga Ras, Pelabuhan Ajibata, Pelabuhan Simanindo, Pelabuhan Ambarita, Bandara Internasional Silangit dan Jembatan Tano Ponggol.

Paparan lain di seminar berjudul “Tanah Ulayat untuk Kesejahteraan Masyarakat di Kawasan Danau Toba dengan Memperhatikan Kepentingan Nasional” (IT DEL, Laguboti, 28 Juli 2018), Luhut menjelaskan dampak ekonomi dengan critical success factors meliputi penerbangan internasional reguler (Singapura, Malaysia, dan Tiongkok); pembangunan di Zona Otoritatif Sibisa; pendanaan proyek; pembangunan infrastruktur dasar; dan kredit Usaha Rakyat (KUR).

Sejarah industrialisasi yang berawal di Eropa disusul di berbagai kawasan seperti di Amerika, Australia dan Asia memang menunjukkan gejala ketaksabaran menempuh cara konvensional. Ibarat sebuah kedaruratan nyata, asa pembangunan akseleratif global diwadahi pembentukan badan otoritatif untuk merebut legitimasi dalam melakukan apa yang diperlukan rezim.

Risikonya ialah komprehensitas tidak diindahkan sehingga pencapaian selalu melahirkan berbagai masalah seperti kesenjangan. Antara lain meluasnya fakta-fakta cultural lag (keterbelakangan budaya) di tengah deru pembangunan industrial yang memihaki “orang beruntung” belaka.

Kisah pengembangan Kawasan Danau Toba adalah mekanisme perputaran modal raksasa yang tak selamanya dapat difahami rakyat. Paralel dengan itu paradoks lain tak dapat terhindar dari pengamatan, yakni aspek manusia dan keadilan dalam pembangunan capital intensive. Secara etimologi Badan Otorita adalah bentuk lain otoritas yang jika ditelusiri berasal dari kata authority dalam konsep ilmu sosial khususnya sosiologi. Mengacu kajian itu otoritas terbagi tiga tipe, yakni legal-rational authority, traditional authority, dan charismatic authority.

Legal-rational authority adalah otoritas hukum-rasional yang juga selalu dikenal sebagai otoritas birokrasi, ketika kekuasaan dilegitimasi aturan dan regulasi yang diberlakukan secara hukum. Legitimasi traditional authority ialah kekuasaan yang dilegitimasi dengan sumber penghormatan atas pola budaya yang telah lama terbentuk di tengah masyarakat. Bali menepis apapun di luar ketentuan adat istiadat lokal saat perayaan Nyepi, tanpa harus menyesali betapa keterhentian mesin ekonomi. Untuk penghargaan atas nilai tradisional ini para Cakalang dapat bertindak atas nama negara dalam menegakkan hukum sesuai rujukan nilai lokal.

Sedangkan legitimasi charismatic authority adalah kekuatan yang dilegitimasi kemampuan pribadi luar biasa yang menginspirasi pengabdian dan kepatuhan, yang untuk sejarah Batak harus disebut sebuah nama yakni Sisingamangaraja.

Badan otoritas yang pernah lahir di Indonesia adalah ekspresi ketidaksabaran menjalankan pembangunan secara normal yang disimbolkan legal-rational authority dalam bentuk kelembagaan yang niscaya. Karena pilihan rapid social change berinduk keniscayaan modal dan kekuatan pengendalinya. Ia memiliki ambisi besar tak terinterupsi sembari mereduksi kapasitas dan kewenangan sumber-sumber legitimasi di dalam tubuhnya sendiri (harmonitas sesama kementerian negara misalnya dan keterlibatan pemerintahan daeerah provinsi dan kabupaten).

Badan otorita ini secara eksistensial juga mereduksi kewibawaan traditional authority dan charismatic authority. Di Sileang-leang, Sigapiton, terjadi kegagalan dialog antara BPODT dan rakyat yang ingin otoritas tradisional adat diindahkan tentang tanah adat (ulayat). Meski melakukan perlawanan tak lazim (unjuk rasa dengan bertelanjang bulat), hasilnya tidak memuaskan. Pernah muncul melalui sebuah forum rumusan rekomendasi pemanfaatan tanah ulayat (adat), yang menghendaki bupati segera menetapkan Surat Keputusan atau Peraturan Daerah tentang Keberadaan Masyarakat Adat.

Penegasan meminta masyarakat melengkapi seluruh persyaratan proses penetapan objek tanah yang akan disertifikasi sesuai peraturan perundangan. Di lingkungan petani gurem, sertifikat tanah hak milik dapat bermakna sebuah fasilitasi percepatan proses pemindahan hak atas tanah kepada pemodal. Mungkin dengan munculnya rangsangan usaha bersifat bankability. Risiko baru bagi mereka yang bermental agraris tidak begitu menyenangkan berhadapan dengan modernitas berbasis market oriented dan atau financial benefit oriented. Ini menjadi sangat krusial.

Paradoks besar dalam proyek raksasa seperti ini adalah akses rakyat. Bagaimana rakyat terlibat dalam proyek modern centris dan capital intensive ini? Bagaimana partisipasi mereka dihitung sebagai pelengkap atau malah karena hal-ihwal nilai dan karakteristiknya (gurem dan berorientasi subsisten-tradisional) kelak diidentifikasi sebagai faktor penghambat? Jika akan diusulkan UU Otorita Danau Toba, maka muatan utamanya mestilah akses rakyat dan penundukan perilaku pembangunan kepada keadilan sosial sebagaimana dikehendaki pasal 33 UUD 1945.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

Pos terkait