REVISI UU PEMILU DAN DEMOKRATISASI BERIMAN

ilustrasi

Oleh Shohibul Anshor Siregar

MESKIPUN saya sadar benar bahwa untuk melakukan revisi atas UU Pemilu di sebuah Negara akan selalu dihadapkan pada kepentingan pragmatis kekuatan politik yang dominan, tetapi saya tetap berharap hendaknya Indonesia mampu menukik pada sandaran nilai-nilai demokrasi universal yang diindahkan oleh peradaban, saat akan melakukan revisi atas UU Pemilu sebagaimana menjadi pembicaraan serius akhir-akhir ini.

Bacaan Lainnya

Dilihat dari kenyataan itu maka sekarang baru disadari betapa luarbiasanya kemudahan konstitusi diamandemen bahkan sudah 4 (empat) kali setelah jatuhnya Orde Baru. Ada kekuatan politik magnitis berupa populisme saat itu sebagai bahan bakar yang mendorong ketidakcermatan sehingga semua pihak seolah merasa Soeharto harus dihabisi dengan melenyapkan semua tradisi politik dan pemerintahannya tanpa pemilahan rasional.

Lama kelamaan keterbelahan mulai terasa, dan teriakan untuk itu bermaksud mencaritahu akar masalah. Namun nasi sudah menjadi bubur. Reformasi hanya mengukuhkan oligarki konstitusional, dan dalam keterbelahan rakyat kini para pihak yang diuntungkan oleh reformasi telah sedemikian siap menelan semua pihak yang menentang sambil mengingatkan cita-cita dasar reformasi.

Reformasi itu sendiri harus didefinisikan kembali dengan tangkas. Ia sudah berakhir saat amandemen ke 4 konstitusi. Selebihnya harus disebut sebagai era yang tunduk pada perilaku pemerintahan rezim yang silih berganti. Saya sadar akan besar diskusi untuk ini terutama karena orang tak begitu jeli menelisik karakteristik khas rezim tertentu yang tidak mudah disahkan sebagai identik dengan jenis pemerintahan apa. Cara berfikir sejarah politik juga berpengaruh di sini. Pada masanya dalam penggalan sejarah, Indonesia seakan sah dan tak boleh dibantah mendefinisikan diri sebagai revolusioner, namun sloganisme telah membutakan akal sehat.

Sama halnya dengan klaim era penerapan Pancasila secara murni dan konsekuen yang menafikan fakta detil-detil antidemokrasi dan sekaligus anti – Pancasila yang membahana.

Kemunafikan-kemunafikan yang begini memang lazim dalam sejarah umat manusia.

Buku How Democracies Die (2018) karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menyadarkan kita tentang tingkah polah rezim yang dijustifikasi sebagai arena dan tindakan demokratis justru menjerumuskan demokrasi itu sendiri ke kematian yang diinginkan oleh penguasa untuk kepentingannya sendiri. Banyak kajian terkait, karena itu revisi UU Pemilu secara sadar patut mencermati pesan-pesan pemurnian pemikiran seperti dikemukakan dalam buku itu.

Beberapa hal yang patut menjadi perhatian bagi para pihak, setidaknya, ialah, pertama, ada keseiringan urgensi revisi UU Pemilu dengan revisi UU Parpol. Memperbaiki salah satu di antaranya hanya akan memungkinkan gerak langkah naik ke anak tangga yang tak membebaskan dari kendala-kendala demokratisasi dan kehidupan politik yang dikeluhkan selama ini.

Sayangnya, induk masalah dari semua ini bisa saja terletak pada diksi konstitusi yang sudah diamandemen hingga 4 (empat) kali.

Sebagai contoh, keluhan atas ketakmampuan menyelenggarakan pemilu yang berintegritas alias jujur sejujur-jujurnya dan adil seadil-adilnya tidak serta merta dapat diusulkan untuk membubarkan KPU karena kelembagaannya disebutkan dalam UUD 1945.

Semua pasti tahu bahwa pemilu pertama 1955 dan pemilu 1999 adalah yang terbersih sepanjang sejarah karena penyelenggaranya adalah parpol peserta pemilu. Kasus-kasus pencurian suara dan berbagai kecurangan lainnya tidak akan menjadi fakta mayor seperti sekarang, dan meskipun untuk tujuan membangun dan mengokohkan model tertentu oligarki ala Indonesia pemodal bisa mengupayakan intervensi kriminal atas keterpilihan calon dan perolehan suara partai tertentu, level masalahnya mungkin hanya terfokus pada tragedi vote buying yang terapinya lebih pada instrumen pengawasan teknis termasuk netralitas penegak hukum.

Kedua, bagaimana sebetulnya disain Indonesia yang dikehendaki konstitusi dan Pancasila. Dengan pertanyaan itu segera kita terdorong untuk bertanya apakah Pancasilais pemilu pasca reformasi yang Presidennya dipilih langsung dan diberlakukannya prasayarat presidential threshold terutama jika dikaitkan dengan makna sila ke 4 (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan).

Menjawab pertanyaan ini sekaligus juga akan menyasar pilkada untuk ditundukkan kepada terjemahan yang benar atas sila ke 4 Pancasila itu.

Ketiga, kualitas keperwakilan lembaga yang diisi oleh orang-orang yang dihasilkan oleh pemilu demi pemilu adalah hambatan utama dalam proses demokratisasi dan pembangunan.

Daerah pemilihan (dapil) diatur sedemikian rupa dan secara implisit rivalitas yang tajam terjadi internal maupun eksternal peserta pemilu (partai). Tetapi satu hal telah menjadi kenyataan tak terbantahkan bahwa bandrol satu kursi (rupiah) sudah diatur oleh pasar, dan pasar itu dikendalikan oleh pemodal. Inilah penyebab rezim pemerintahan patuh sepatuh-patuhnya kepada dikte pemodal yang pada gilirannya kurang lebih memerankan diri sebagai debt collector.

Begitu lucu keberadaan dan kelembagaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI yang seakan sebuah LSM berbiaya APBN dan berkantor di pusat pemerintahan (Senayan) akan semakin masuk akal dikritisi karena ia yang mungkin dianggap substitusi klausul utusan daerah justru menambah kebingungan politik karena faktanya ia tak boleh berperan sebagai jelmaan kepentingan murni daerah dengan segenap aspirasi yang hidup di sana. Ia lembaga pajangan yang tak membawakan namanya sendiri secara konsisten.

Mengapa institusi pengawasan pemilu tak bekerja transparan dan terpercaya, mengapa regulasi yang mereka inisiasi atau mereka setujui tak mencerminkan kepekaan atas maslahat rakyat banyak, adalah pertanyaan yang dapat diperpanjang daftarnya yang serta merta jawabannya ditemukan pada proses kandidasi calon wakil itu. Jika sudah disadari bahwa semua calon itu tidak beroleh kesetaraan dengan penomorannya, maka pertanyaan tentang faktor apa yang menentukan pemosisian itu mengarah pada dependensi jawaban kedekatan dengan elit partai dan transaksi uang. Ada yang berani membantah kenyataan ini?

Masalah kualitas keperwakilan berdasarkan UU pemilu selama ini memaksakan masalah besar meski tak pernah menjadi perhatian publik. Organisasi seperti Muhammadiyah yang berdiri tahun 1912, NU yang berdiri sejak tahun 1926 dan organisasi-organisasi besar lainnya, dan yang banyak bekerja untuk maslahat rakyat, sama sekali tidak pernah dihitung oleh sistem demokrasi pemilu yang dicopy paste oleh para komprador Indonesia.

Terasa terlalu menghina kepada semua organisasi pengusir penjajah itu jika aspirasi politiknya dipaksa disalurkan kepada partai politik yang dalam fakta tak terbantahkan tak memiliki benang merah ideologis, historis dan agenda perjuangan dengan mereka. Mungkin penganut quacy demokrasi paku mati (buta nurani) akan mengatakan sistem demokrasi yang dibangun telah menyediakan tempat dan saluran yang sehat untuk itu.

Kapasitas partai terdisain jauh lebih kecil dari organisasi-organisasi superior yang saya maksudkan. Pada titik lain malah partai politik ini diberi hak dan keleluasaan membuat organisasi yang mau tidak mau menjadi tandingan bagi organisasi besar bersejarah suci untuk republik.

Betapa naïf dan pandang entengnya kepada organisasi besar bersejarah patriot itu.  Tetapi orang yang sinis seperti itu telah sengaja mengabaikan fakta bahwa sistem demokrasi transaksi yang diglorifikasi oleh Negara itu nyata-nyata atas nama iman diharamkan oleh organisasi pengusir penjajah itu dan mereka tidak akan bisa berdamai dengan kemungkaran yang disahkan (transaksi dan lain-lain).

Sadarkah Negara bentuk-bentuk dan kedalaman alineasi yang pada gilirannya justru secara sistematis memojokkan orientasi politik dan keberadaan organisasi-organisasi pejuang itu?

Karena itu revisi UU Pemilu wajib menyediakan kursi bagi wakil-wakil organisasi tanpa melalui pemilu. Organisasi-organisasi itu dapat mengontrol anggotanya yang ditugaskan dan sesegera mungkin dapat menariknya untuk digantikan oleh kader lain jika terindikasi telah menodai perjuangan. Partai politik bukan segalanya dan keterbatasan sistem rekrutmen pemilu begitu nyata dan buruk untuk diapresiasi. Berilah hak kepada organisasi-organisasi itu merasa diri ikut memiliki Negara dan ikut serta menentukan arah dan kebijakannya. Itu hak normatif yang tak serta merta dapat dihilangkan oleh demokratisasi copy paste yang diglorifikasi setinggi apapun.

Instrumentasi teknis yang mengelu-elukan capai demokratisasi Indonesia seperti selalu tercermin dari Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang begitu menyesatkan, terutama “pengharaman adanya benang merah antara kemajuan demokrasi dengan pemerataan ekonomi” adalah nestapa lain dalam kajian demokrasi Indonesia yang tak pernah menjadi perhatian serius para akademisi.

Malah label akademis ditengarai telah dibajak untuk melegitimasi setiap kebobrokan yang dihasilkan oleh mekanisme demokrasi anti keimanan yang terjadi selama ini. Misalnya, daripada memikirkan cara mengantisipasi kejahatan terniscaya dalam pemilu, label-label akademik Indonesia kerap dijerumuskan untuk mengulas detil kasus-kasus hilir, yang sama sekali tak membawa manfaat bagi nilai demokrasi, ketimbang menggagas konsepsi besar semisal disain telaah akademis telisik forensik pemilu.

Telisik forensik pemilu jelas lebih mampu bertahan dari hasrat kotor legitimasi hasil pemilu curang. Model ini telah dikembangkan dengan tingkat keberhasilan yang baik oleh para ilmuan sosial di berbagai Negara yang begitu resah dengan pemilu manipulatif.

Masih banyak masalah yang memerlukan perbaikan dalam sistem demokrasi Indonesia yang kesemuanya tak dapat dibahas terpisah dengan UU Partai Politik. Mestinya keduanya wajib dibahas bersamaan. Kedua ranah itupun wajib ditundukkan pada kajian filosofis terhadap UUD 1945 yang menegaskan misi dan tujuan bernegara yang tak bisa ditawar oleh apapun termasuk kegandrungan neoliberalisme.

Jangan sampai demokratisasi yang digencarkan malah terus-menerus semakin menjauhkan Indonesia dari cita-cita kemerdekaan. Akar masalah keterwakilan rakyat dan akomodasi ideal aspirasi rakyat Indonesia tidak dapat diperkenankan luput dari evaluasi jenius hanya karena etape kedemokrasian telah berhasil semakin mengidentikkan diri dengan cara dan alam pikiran Barat yang mengajarkan patronase sesat sambil menekankan status ketaktergugatan gagasan mereka yang hegemonik atas nama supremasi rasialistik (kulit putih).

Kebangkitan dan ketersinggungan terhadap Barat adalah martabat dan tuntutan poskolonialisme berbasis nilai kemanusiaan universal yang memerdekakan. Tidak lagi ada cara bersembunyi di balik sakralisasi kata modernisasi untuk penjajahan gaya baru entah dengan praktik kooptasi, pengumpanan modal, kompradorisasi dan bentuk-bentuk lainnya.

Sama sekali saya tidak berkata sesuatu yang baru. Ini semua gugatan dan tuntutan martabat Indonesia saat menegaskan merdeka sebagaimana dapat ditelaah dalam dokumen Piagam Jakarta.

Penulis adalah dosen FISIP UMSU. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

Pos terkait