‘Trail of The Kings’ – Zero Edition

Shohibul Anshor Siregar

SAAT ini tentu belum tersedia data apa pun yang dapat mengukur secara langsung persepsi masyarakat internasional mengenai nama “’Trail of The Kings‘  untuk kegiatan pemasaran pariwisata di Danau Toba. Namun, berdasarkan target penyelenggara menghadirkan 1.500 peserta, sampai pendaftaran ditutup hanya berhasil menerima 736 peserta dari 12 negara.

Juga belum diketahui apa orang dari 12 negara itu datang khusus untuk “Trail of The Kings” atau memutuskan untuk mencoba ikut terlibat karena kebetulan sedang berada di Indonesia atau di Sumatera Utara atau di sekitar Danau Toba.

Bacaan Lainnya

Jika peserta dari 12 negara itu datang khusus untuk “Trail of The Kings”, maka sungguh luar biasa daya tarik yang berhasil ditebar atau diinformasikan secara global. Sebab, ditinjau dari hadiah yang disediakan bagi para juara, rasanya jumlahnya sangat kecil dibanding pengorbanan dan total kost untuk menjadi peserta.

 Jangan bilang “Apalah Arti Sebuah Nama”

Hal lain yang cukup serius ialah bahwa, barangkali tak sedikit yang akan mengernyitkan kening karena terus berusaha mencari makna di balik nama kegiatan yang jika diindonesiakan adalah “Jejak Para Raja”. Terminologi “Raja” dalam Sejarah Batak mungkin dapat dibagi tiga.

Pertama, terkait dengan kepatuhan dan loyalitas seseorang atas ketentuan nilai dan adat istiadat Batak yang sama sekali tak terkait dengan urusan kekuasaan dan politik. Kedua, tingkatan kekuasaan politik yang diukur dari lingkup kekuasaan wilayah dan atau urusan teknis tertentu pada Masyarakat Batak masa silam.

Ketiga, terkait dengan historiografi yang mengisahkan peran tokoh-tokoh besar Batak dalam dinasti Si Singa Mangaraja (I-XII) yang semakin dikenal sejak kedatangan Kolonial Belanda dan para missionaris dari Eropa dan negara Barat lainnya.

Harus diakui bahwa Si Singa Mangaraja memiliki peran politik yang sangat penting dalam pembentukan persepsi publik nasional dan internasional atas heroisme dan nasionalisme Batak, khususnya pascakemerdekaan.

Tetapi terkait dengan nama kegiatan ini, saya lebih cenderung memilih kosa kata dan atau gabungan kosa kata khas yang mendeskripsikan hal-hal bernilai tinggi dan atau sangat istimewa dalam sejarah, dinamika dan keberadaan Komunitas Batak. Makin spesifik Batak justru akan semakin menarik terutama karena dua hal.

l Wisatawan Domestik Menjadi Penyelamat Pariwisata Indonesia” Sumber: Litbang Kompas/SNT  (https://data.kompas.id/data-detail/kompas_statistic/6526ddb300d5cb13138caf24). l

Meskipun Danau Toba memiliki potensi besar sebagai salah satu superdestinasi wisata di Indonesia, sebagaimana diklaim oleh Pemerintah selama ini, namun harus diakui masih terdapat beberapa masalah serius yang mempersulit pengakuan atas status tersebut.

Saya kira memang Pemerintah harus benar-benar menyadari jarak yang masih cukup jauh antara kondisi yang dicita-citakan dan fakta keberadaan objektif Danau Toba saat ini. Kesadaran itu sangat penting. Karena dengan sendirinya pasti akan dapat memotivasi organ-organ (pemerintah, swasta dan masyarakat lokal) yang terlibat untuk memacu pemenuhan standar berdasarkan keinginan yang diklaim.

Setidaknya terdapat beberapa masalah utama. Pertama, berkaitan dengan lingkungan. Diketahui tak seorang pun yang dapat menafikan keberadaan polusi air. Pencemaran air yang berkelanjutan dari limbah industri, peternakan ikan, dan limbah yang tidak diolah terindetifikasi sebagai ancaman yang signifikan terhadap kualitas air dan keindahan danau secara keseluruhan. Aneh jika hal yang menghalangi wisatawan dan yang merusak ekosistem alam ini tidak beroleh penanganan serius.

Kedua, deforestasi dan degradasi lahan. Saya tak dapat memberi Anda data penebangan liar dan praktik penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan. Tetapi fakta itu terus berkontribusi terhadap deforestasi dan erosi tanah di sekitar danau, sehingga berdampak pada keindahan pemandangan dan kesehatan ekologi di wilayah tersebut.

Ketiga, keterbatasan infrastruktur. Saya kira sudah banyak kemajuan, namun masih belum beranjak dari masalah jaringan jalan yang terbatas. Kondisi jalan yang buruk di beberapa daerah juga membuat beberapa lokasi menarik sulit dijangkau.

Keempat, konektivitas udara. Tidak ada penerbangan langsung, terutama dari tujuan internasional. Hanya ada Bandara Silangit yang jaraknya dengan Danau Toba cukup meletihkan dan membosankan bagi yang menempuh. Selain itu juga menjadi variable yang membuat perjalanan udara menjadi mahal. Jalan tol yang dibuka masih belum menghubungkan Bandara Kualanamu dengan Danau Toba.

Kelima, tantangan sosial dan ekonomi. Sulit dinafikan fakta kemiskinan dan ketimpangan. Kantong kemiskinan masyarakat lokal menimbulkan keresahan sosial dan berpotensi menimbulkan persepsi negatif terhadap destinasi wisata di kalangan wisatawan dan kebijakan investasi.

Seolah tak disadari bahwa distribusi manfaat pariwisata yang tidak merata sesungguhnya dapat semakin memperburuk kesenjangan yang ada.

Keenam, keterampilan dan pelatihan lokal yang terbatas. Kurangnya kesempatan pelatihan dan pendidikan bagi penduduk lokal tak memberi peluang untuk keluar dari keterbatasan alamiah dalam kemampuan mendapatkan pekerjaan yang berhubungan dengan pariwisata. Ini jelas menghambat keterlibatan masyarakat dalam industri ini.

Ketujuh, masalah manajemen dan perencanaan. Kurangnya rencana pengembangan pariwisata yang komprehensif dan yang melibatkan secara berimbang semua kabupaten pemilik Danau Toba serta sifat perencanaan yang top down, masih mencerminkan kebutuhan akan rencana pembangunan pariwisata yang terdefinisi dengan baik dan berjangka panjang serta mengutamakan keberlanjutan dan praktik-praktik berwajah inklusif dengan perhitungan serius atas potensi dampak negatif.

Hal ini juga dengan sendirinya mengindikasikan kolaborasi yang lemah. Kolaborasi yang tidak memadai antara lembaga pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat lokal terbukti selalu dapat menghambat efektivitas pengelolaan dan implementasi inisiatif pariwisata berkelanjutan.

Reorientasi dan Revitalsasi

Reorientasi sama pentingnya dengan revitalisasi dalam kebijakan pengembangan pariwisata di Indonesia. Tujuannya untuk menghindari sejauh mungkin aksentuasi pencapaian tujuan pertumbuhan ekonomi yang mekanisme agregatnya lazim menelantarkan nasib rakyat sebagai stakeholder.

Konflik antara rakyat dengan koorporasi dan Pemerintah pada urusan-urusan pengembangan kepariwisataan selalu mengemuka dan hal itu ajeg di seluruh dunia. Risiko marginalisasi nasib rakyat dari pengalaman berbagai negara dalam pengelolaan sektor kepariwisataan harus menjadi perhatian penting Indonesia agar tak terjebak dalam cengkeraman neoliberalisme ektrim yang ujungnya menyengsarakan.

Dalam bank data yang tersedia pada situs resmi BPODT, fakta yang ditemukan adalah kedaluwarsaan. Sebab usia termuda dari semua dokumen yang dapat diakses adalah keluaran tahun 2021. Lihat: https://bankdata.kemenparekraf.go.id/dokumen?search=bpodt.

Danau Toba memang menunggu tangan-tangan terampil yang berorientasi kerakyatan. Dimensi kerakyatan sangat sensitif tentang parjambaron (jambar, alokasi) yang dituntut berkeadilan oleh konstitusi.  ***

Shohibul Anshor Siregar l Pemerhati Lingkungan

 

Pos terkait