Oleh Yance
TULISAN ini berusaha memberi suatu makna lain dari pemahaman mainstream, tentang konsep New Normal, yaitu dipandang dari perspektif semiotika. New Normal ini diartikan sebagai back to normal. Justru kehidupan pada pra-Covid 19 itu yang abnormal. Agar lebih mudah memahami uraian di bawah ini, diperkenalkan konsep hiperrealita, yang dicetuskan pertama kali oleh seorang filsuf kontemporer dan ahli semiotika ternama dari Perancis, bernama Jean Baudrillard.
Konsep ini diuraikan panjang lebar oleh Baudrillard di dalam bukunya tentang Simulacra. Penjelasan sederhana dari konsep hiperrealita dapat dipahami dengan contoh berikut. Bayangkan ketika membeli segelas kopi seharga 40-an ribu. Mengapa segelas kopi bisa begitu mahal? Anggaplah harga dasar kopi itu 7 ribu, maka 33 ribu sisanya anda membayar harga sewa sofa outlet dan membeli simbolnya. Angka 33 ribu itulah hiperrealita. Sebuah kondisi mental yang menganggap sesuatu itu nyata dan kita butuhkan melebihi kebutuhan dasar kita sendiri.
Kita sesungguhnya tidak akan menemui hiperrealita sedahsyat kemarin andai saja tidak ditemukan aplikasi yang canggih dari berbagai media sosial dan yang sejenisnya.
Tiba – tiba datanglah badai Covid19. Mendadak kita semua takut keluar rumah, takut berkerumun, aktivitas di luar dibatasi. Apa-apa serba dari rumah. Lalu bagaimana nasib para hiperrealista (sebutan untuk pelaku hiperrealita) ?/
Kedai kopi sepi, kafe sepi, mall sepi. Tidak ada orang yg meng-up load image mereka di outlet-outlet pendongkrak citra diri itu. Masihkah relevan kebutuhan akan luxury, prestise dan status hari ini ? Masih mungkinkah kita membutuhkan itu? Atau, kita langsung ke puncak pertanyaannya: masihkah dibutuhkan hal – hal seperti itu hari ini ?.
Pandemi Covid 19 ini ibarat tombol reset. Sekali ditekan langsung semua berbondong-bondong menuju ke titik awal. Kita sudah merasakan PSBB, di mana pada masa itu kita diarahkan untuk melakukan segala hal yang kita butuhkan saja. Ini kabar buruk untuk usaha seperti pariwisata, hotel, mall, kafe-kafe dan semua usaha yang menjadikan CITRA, IMAGE, LUXURY atau PRESTISE sebagai core/inti bisnisnya.
‘Pembatasan sosial’ itu adalah hantu bagi usaha usaha tadi. Di mana letak kesalahannya kalau begini ? Benarkah kehidupan sosial benar – benar dibatasi ?
Sebetulnya tidak salah, karena yang terjadi sesungguhnya bukanlah pembatasan sosial tetapi mengembalikan kehidupan sosial kita ke titik yang wajar ketika kehidupan sosial kita sudah benar – benar overdosis (40k for a glass of coffee ?? ).
Kesalahannya adalah usaha terkenal dan produk sejenisnya, membasiskan bisnisnya kepada materi yang imajiner (citra, luxury, prestise, status). Kalau anda mengira tempat ngopi dan sejenisnya itu menjual produk minuman/makanan, sebetulnya tidak. Bisnis mereka adalah jual-beli simbol, jual beli imajinasi yang dikonstruksikan , seolah – olah hadir sebagai realita. Bisnis mereka didasarkan pada kemampuan algoritma mereka untuk menggiring alam pikiran manusia ke dalam jebakan ilusi. Algoritma mereka berfungsi sama seperti mantra yang dipraktekkan di masa lalu. Simbol akan berubah menjadi status manakala kehidupan sosial manusia didorong sampai puncak di luar kebutuhan wajar manusia, dan ketika ruang manusia untuk saling bertemu hancur lebur seperti hari ini, saat itulah simbol – simbol itu runtuh nilai jualnya.
Apakah ini pertanda buruk ? Ya ini pertanda buruk, yang menunjukan betapa lugunya kita kemarin selama ini, rutin bekerja 8 jam sehari, 5 hari seminggu hanya untuk mengongkosi kebutuhan imajiner ( hiperrealita ) kita. Kemarin kita benar-benar dijauhkan dari apa yg benar-benar kita butuhkan. Kita malah membiayai ilusi yang diciptakan orang lain.
New Normal, adalah hancurnya sebuah abnormalitas dan kembalinya sebuah kehidupan normal. Sebelum revolusi industri, kehidupan itu relatif sangat normal. manusia setara bekerja untuk kebutuhannya, membayar setara suatu produk berdasarkan nilai intrinsiknya. Ketika mereka ‘ngopi’ , ya ngopi untuk menghilangkan penat. Kedai kopi pun sebagai ruang publik untuk saling guyub berinteraksi, bukan ruang untuk berhalusinasi atau untuk menyendiri. Selesai ngopi kembali ke kehidupannya, bukannya pindah kasta yang semu. Upah yang mereka dapat pun untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Bukan untuk membeli imajinasi yang diciptakan oleh merek branded.
Ketika kondisi di atas dihantam kejadian luar biasa seperti pandemi, kemungkinan skenario yang terjadi tidak akan se-dramatis seperti yg terjadi hari ini. Hari ini ribuan pekerja menggantungkan hidupnya pada bisnis imajiner seperti mall dan yang sejenis. Bisa terbayang efek domino kehancurannya… rubuh satu sirna banyak. Ribuan pekerja terancam kehidupannya seiring hilangnya pekerjaan mereka. Mereka terasing dari pekerjaannya sehingga merasa bukan siapa-siapa dan tidak berdaya ketika hilang profesinya. Mereka merasa irrelevan di – tengah masyarakat dan timbul rasa frustrasi akut.
Sudah waktunya dunia – dunia usaha imajiner merombak plan bisnisnya ke usaha-usaha yang nyata (riil) dan beradaptasi bila ingin survive hari ini. Alih-alih mempertahankan bisnis yang sama seolah-olah kita masih hidup di dunia kemarin (gagal move on).
New Normal adalah sebuah terapi psikis dan efek kejut bagi kita untuk memikirkan ulang, menseting ulang untuk introspeksi betapa rapuhnya kehidupan sosial kita kemarin seperti jaring laba-laba besar. Sebuah sistem sosial yang seolah – olah tertata, tersistem dan terstruktur rapi dan masiv tetapi tidak kita sadari ternyata begitu rapuh dan labil ketika sebuah kerikil menimpanya.
New Normal mendorong kita untuk fokus dan mengefisiensikan tenaga dan pikiran kita untuk hal-hal yg kita butuhkan saja. New Normal harus dapat dijadikan indikasi atas matinya kebutuhan-kebutuhan halusinasi kita. Seolah-olah hidup kita serba dicukupkan. Kita didorong memikirkan kembali apa yang benar-benar kita butuhkan. Kembali ke jati diri dan fungsi diri kita yg nyata.
It’s all done. We’ are shifting.
Change or we die. Get real.
Dunia kita yang kemarin sudah mati
Dunia hari ini ibarat sebuah rumah sakit yang besar dan kita tergeletak di dalamnya serta hanya berpikir untuk tetap sehat dan tetap hidup. Coba bayangkan melihat orang sedang berfoto selfie saat tergeletak sekarat di rumah sakit ? Itulah matinya hiperrealita.
Jika Baudrillard di tahun 80-an lalu sudah memikirkan kondisi hiperrealita, sesungguhnya saat itu dia sudah melihat bahaya dan sedang menyalakan simbol SOS ( save our soul ) itu kepada kita agar cepat sadar dan menyelamatkan diri bahwa kita berdiri di atas bom waktu. Sekali lagi terbukti bahwa para seniman besar dan filosof besar adalah pihak pertama yang dapat menangkap sinyal – sinyal perubahan jaman, hanya saja sebagian besar manusia tidak peka dan cepat tanggap.
Walaupun Jean Baudrillard sudah berjasa menyingkap tabir yang menutup penglihatan kita dari bahaya tersembunyi dari imajinasi yang dikonstruksikan, tetapi pekerjaan beliau belum tuntas. Para pencipta algoritma canggih akan terus menyempurnakan ciptaannya untuk melayani para pebisnis pencipta ilusi. Pada akhirnya, jika kita tidak waspada, allgoritma canggih itu akan menanggalkan dan merampas otoritas kita sebagai manusia bebas merdeka.
Kondisi itu dapat terwujud karena sebagian besar manusia dengan sukarela menyerahkan otoritas dan remote kontrol yang mengatur hidupnya sendiri kepada algoritma yang ironisnya diciptakan oleh segelintir orang. Bahaya terbesar yang menghadang kita adalah dirampasnya otoritas kita sebagai manusia oleh berbagai algoritma canggih yang dimiliki oleh segelintir manusia super cerdas Mungkin itu dilakukannya karena tidak sadar, akibat minimnya pengetahuan tentang nilai – nilai kehidupan di abad digital, abad XXI.
Pertanyaan mendasar berikutnya bagaimana cara melepaskan atau minimal mengendurkan cengkeraman algoritma canggih itu, agar manusia masih tetap punya otoritas atas diri dan kehidupannya sendiri. Penjelasan lebih rinci tentang hal itu berikut jawaban tentang pertanyaan mendasar di atas akan diberikan pada sesi tulisan berikutnya.
Dengan demikian masih tersisa minimal sedikit dari rasa memiliki eksistensi diri sebagai manusia bebas merdeka. ***