Pada bagian sebelumnya sudah dijelaskan hal-ihwal kebebasan atau kemerdekaan pers yang tentu saja dengan normatika (sosiologis, politis, sejarah) yang sama setiap orang bisa berpendapat bahwa kebebasan pers saat ini (khususnya di Samosir, sesuai topik FGD) telah penuh, atau hanya setengah atau tidak ada sama sekali. Apakah ada jalan untuk kita agar tidak bertengkar tanpa juntrungan tentang masalah ini? Itu yang ingin saya tawarkan pada bagian ini.
Banyak pendekatan yang dilakukan untuk mengukur tingkat kebebasan pers di sebuah negara, salah satunya dilakukan oleh Freedom House dituangkan dalam naskah Freedom of the Press Methodologyyang ringkasannya dapat dibuat demikian. Ada keajegan yang menjadi bahan yang amat berguna untuk membangun asumsi dasar tentang perkembangan demokrasi, termasukdalam era digital yang amat disruptif sekalipun, bahwa semakin ke hilir demokrasi itu semakin menjauh dari nilai dan karakteristiknya sendiri. Kendala-kendala demokrasi sering menjadi pokok perhatian media dengan segenap konsekuensinya.
Kedua: Hari Selasa (20 Oktober 2020 yang lalu) atas nama Intelektual Independen Indonesia saya, Surya dan Afrilia menyelenggarakan seminar daring dengan topik “Indonesia Menggugat Versi Abda 21” yang selain saya dan Surya juga menghadirkan pembicara dari Belanda, yakni Jeffry Pondaag, Lara Nuberg dan Michael van Zeiijl. Sebagai sebuah renungan progresivitas orang luar terhadap Indonesia yang dijajah 350 tahun oleh Belanda, Michael van Zeijl mengajukan sebuah gugatan panjang yang tidak main-main.
Ketiga: Nelson Mandela itu adalah pahlawan hanya karena rezim apartheid di negaranya dijatuhkan, namun sebelumnya, selama 20 tahun di penjara, ia adalah ekrimis, teroris dan orang jahat sebagaimana pemerintah Hindia Belanda menjuluki pejuang-pejuang seperti Sisingamangaraja XII, Imam Bonjol, Si Pitung, Si Jiih dan lain-lain yang belum kita tulis secara sempurna berdasarkan perspektif kita sendiri.
Memang hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan. Hak jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Terhadap perusahaan pers yang tidak mengindahkan hak jawab bisa dikenai pidana denda paling banyak Rp. 500 juta sesuai ketentuan pasal 18 ayat (2) UU Pers.
Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Kewajiban ini adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan. Lihat pasal 3 ayat (1) dan (2) UU Pers.
*Dosen FISIP UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (n’BASIS) (Disampaikan pada Focus Group Discussion: KEBEBASAN PERS DI SAMOSIR TERANCAM? – Zoom | Kantor Redaksi www.samosirtoday.com| Lumban Butar Il | Siogung-Ogung | Pangururan | Sabtu 24 Oktober 2020, Pukul 14.00 -18.00)