Masyarakat Danau Toba Harus Siap Mengantisipasi Mobilisasi Penduduk

Prof Laurence Manullang

Oleh Prof Dr Laurence Manullang

DENGAN gencarnya pembangunan di Kawasan Danau Toba sudah otomatis akan memperindah kawasan itu serta menciptakan peluang dan lowongan untuk aktivitas ekonomi baru karena daya tarik daerah yang semakin kondusif

Bacaan Lainnya

Seperti pengembangan yang terjadi di Batam yang dulunya daerah sepi wilayah, beberapa tahun setelah kawasan itu dibuka, warga dari daerah lain memasuki wilayah itu untuk mengadu nasib kerena pembangunan Batam yang semakin mempunyai daya tarik pada pendatang baru.

Benar pepatah yang mengatakan dimana ada manisan akan dikeremuni oleh semut. Karena di Batam yang dulunya daerah remote, saat ini sudah mengarah pada kota metropolitan dimana pendatang baru seperti masyarakat Jawa, Batak, Minang, Bugis dan Madura yang merupakan transmigran independent sudah merupakan jumlah warga dengan ratio signifikant di Batam.

Dulu Batam diperuntukkan untuk investasi dan negara/warga hanya menyewakan tanah Rp 2.500 per meter per bulan selama maksimum 25 tahun. Tetapi sekarang keibijakan pemindahan hak atas tanah sudah berlaku seperti daerah lain. Batam bukan.lagi wilayah Melayu tetapi sudah berobah menjadi nasional dan hampir tidak ada lagi ditemukan kepemilikan tanah dengan mengindahkan adat istiadat lokal.

Bukan seperti di Bali, walau banyak investasi masuk dari luar Bali tetapi Provinsi Bali tetap memegang keunikan adat dan tradisi Bali dalam kebijakan hak kepemilikan atas tanah. Sampai kebijakan pembangunan bertingkat di Bali seperti hotel dan perkantoran bangunan diatas sesuai dengan kebijakan lokal seperti bangunan tidak bisa dibangun lebih tinggi dari pohon kelapa.

Hanya ada satu hotel yang sempat terlanjur dibangun lebih tinggi dari pohon kelapa yaitu bangunan Samudra Beach Hotel.

Karena dibukanya investasi besar-besaran di daerah sekitar Danau Toba dan akan berdampak positif dalam pembangunan dalam rangka multiplier effect dan akan menciptakan manisan untuk datangnya semut secara massal tentu menciptakan kegiuran untuk menguasai tanah tempat berusaha dan tempat tinggal yang akan menciptakan daya tarik bagi pemilik tanah adat menjualnya kepada transmigran sukarela ini dengan harga tanah yang semakin meningkat.

Aspek lain akan terjadi transmigran mandiri yang akan membawa adat istiadatnya dan menerapkannya ke wilayah baru mereka. Seperti yang terjadi di Kabupaten Karo akhir-akhir ini berdasarkan berita yang tidak diviralkan mengusir pendatang baru karena menerapkan kebiasaan budaya mereka yang tidak berterima pada masyarakat Karo.

Pada awalnya mungkin mereka akan meminta dimargakan jadi marga Batak tetapi manakala usaha mereka sudah berkembang dan keturunannya bertambah – tambah dengan.marga yang diusung maka akan terjadi suatu fenomena mengatakan bahwa mereka bukan orang Batak. Seperti yang terjadi di beberapa wilayah Batak yang mengatakan bahwa Lubis adalah suku Bugis padahal marga asli Batak Lubis itu adalah Batak anggota kelompok marga Borbor .

Juga .marga Tanjung asli merasa tersinggung ketika diberitakan bahwa Tanjung bukan orang Batak. Itu ulah pendatang yang memohon dimargakan dulu jadi marga Tanjung setelah berkembang dan mengumpulkan harta yang banyak dari Tanah Batak mereka mendeklarasikan bahwa Tanjung bukan orang Batak. Padahal dalam silsilah Batak, Tanjung adalah masuk kelompok marga besar di Tanah Batak seperti Pasaribu, Sagala, Limbong, Harahap, Malau Raja, Ambarita, Daulay, Parapat, Batubara, Sipahutar dll.

Bagaimana mengantisipasi ini, ini adalah salah satu cara agar perantau orang Batak marsipature hutanabe dan membangun tanah-tanah adat yang kosong menjadi kawasan berupa tempat tinggal atau tempat usaha biar semua pendatang hanya menyewa tempat milik adat asli leluhur orang Batak itu.

Saat ini Balige sudah kebanjiran pendatang baru yang membuka usahanya sebagai pedagang mie baso dan sudah berkembang. Malah sudah beberapa RT dan suara mereka sudah significan untuk pilkada dan telah mulai membeli tanah dan membangun rumah di Balige dan memlliki sertifikat tanah hak milik.

Ini hanya salah satu contoh saja yang bisa dikembangkan oleh lae dongan tubu dohht tulang/ hula-hula anak ni raja i di Tanah Batak dan perantauan. Mengembangkan pemikiran ini tidak akan dituduh berpikir kedaerahan karena sudah ada undang-undang yang menghargai kepemilikan hak adat. Makanya peranan kembaga-lembaga adat Batak seperti DM-LABB dab lain-lainl dirasa semakin penting. ***

*Prof Dr Laurence A Manullang, Rektor Universitas Timbul Nusantara ,Jakarta

Tulisan ini dikutip dari grup whatsApp Alliansi Rakyat Danau Toba dan seijin penulisnya.

Pos terkait