Pilkada, Ukur Kekuatan, Kawan dan Lawan

Ilustrasi - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak saat pandemi COVID-19. ANTARA/Ardika/am.

Oleh Bachtiar Sitanggang

PENETAPAN Calon Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) seluruh Indonesia menjelang pendaftaran 27-29 Agustus 2024, pihak yang berkepentingan masih mengukur kekuatan partai pengusung, seleksi pasangan calon, cari koalisi serta kekuatan finansial.

Bacaan Lainnya

Tercermin dari keadaan di DK Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Utara. Lima daeran tersebut dijadikan barometer karena kepentingan kekuatan besar ada di daerah bersangkutan. DK Jakarta, pusat pemerintahan dan bisnis serta bekas ibukota barometer untuk partai “bertarung” tidak hanya bakal calon tetapi juga kekuasaan. Sebab yang digadang-gadang mantan menteri/mantan gubernur-petahana serta mantan calon presiden Prof Anies Baswedan, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden RI Ir Joko Widodo.

Jawa Barat menjadi rebutan, pemilih terbesar dianggap sebagai lumbung Partai Golongan Karya (Golkar) dengan keberhasilan Ridwan Kamil masih menunggu akan ke DK Jakarta atau tetap di Bandung, mungkin masuk kabinet? Jadi tarik menarik di Koalisi Indonesia Maju (KIM) pengusung presiden terpilih Prabowo Subianto- Gibran Rakabuming Raka.

Ikhwal Jawa Tengah yang dianggap Kandang Banteng, maka PDIP akan berhadapan dengan parpol lain terutama dengan KIM apalagi dengan adanya kabar hasil survei Kaesang tinggi di provinsi itu, semua masih cair.
Kondisi Jawa Timur juga sama, dengan petahana Khofifah Indarprawansa yang didikung KIM, berhadapan dengan nonkoalisi yaitu PDIP, tapi sampai kini juga belum konkret.

Beda dengan Sumatera Utara, faktor tingginya perhatian adalah ikut bertarungnya menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution, Walikota Medan yang mau naik kelas ke Calon Gubernur. Menariknya, Bobby dicalonkan Golkar dimana Partai Beringin ini kelihatannya tidak mencalonkan kadernya sendiri.

Jadi saat ini yang “bertarung” adalah partai dengan kata lain bukan kemampuan bakal calon dan kepentingan rakyat yang dijadikan ukuran, melainkan kepentingan politik dan kekuasaan partai.

Kondisi yang terjadi di pusat itu berantai ke Kabupaten Samosir, yang sampai sekarang belum ada deklarasi pasangan calon. Selain faktor sumber daya manusianya dan sumber daya finansial, “perahu” pendukung juga harus keputusan dari DPP Partai.

Terinformasi, hanya ada dua nama yang muncul: petahana Vandiko Timotius Gultom dan Freddy Paulus Sitomorang, seorang advokat. Namun keduanya belum menemukan jodoh-wakil jadi pasangannya, mengapa? Kata orang (mungkin juga) masih menyeleksi siapa yang mampu kontribusi mahar tinggi.

Sebab Samosir sudah harus besar untuk Togu-Togu Ro (TTR-pemberian berupa uang dan barang, supaya memilih si pemberi saat pemungutan suara) serta serangan fajar. Kalau tahun 2020 saja supaya menang mengeluarkan dana kurang lebih 100 miliar, dibanding tahun ini harus disesuaikan dengan inflasi dan kenaikan harga-harga, bisa tambah berapa persen? Hitung sendiri.

Selain faktor finansial, faktor partai lebih memungkinkan Josmar Naibaho mau maju karena Partai Gerindra sebagai partai pemerintah dengan KIM periode mendatang memungkinkannya, tapi masih melihat situasi, katanya.

Beberapa waktu lalu muncul nama Edison Sinaga, walaupun pengamat skeptis mengatakan ”kalau Edison mau, pasti Samosir maju. Tetapi sebagai pengusaha profesional “putih” dengan keringat sendiri, apakah dia mau?” Memang ternyata tidak muncul lagi.

Sekarang tinggal Vandiko dan Freddy, yang memiliki kekuatan finansial, tinggal mencari pasangan dan partai pengusung. Masyarakat Samosir, katanya, tidak mempersoalkan siapa yang jadi anggota DPRD maupun Bupati, yang penting TTR dan serangan fajar saja. Sebab dari dulu hanya waktu kampanye dekat dengan rakyat, selainnya janji tinggal janji semata. Apa ya, Biro Pusat Statistik yang mencatat. TTR dan serangan fajar itu saja yang bisa diperoleh selainnya apa? Ya siapa yang kasih terima saja. Bahkan ada yang mengatakan, sudah siap jemput bola TTR dan serangan fajar. Sudah separah itukah? Siapa yang bisa jawab.

Bakal calon wakil masih samar-samar, sebab yang dimunculkan kebanyakan politisi bukan administratur. Oleh karenanya sepertinya kurang memenuhi standar Tim Vandiko, baik kemampuan personal maupun finansial. Manuver banyak pihak seolah tidak masuk radarnya sampai sekarang.

Freddy, hampir sama dengan Vandiko yang masih “hijau” di bidang ke-Pamongraja-an sebab dunia kepengacaraan jauh dari pelayanan bagi masyarakat yang beragam kebutuhan sandang, pangan dan papan. Keduanya, kalau mau membangun Samosir harus benar-benar mendekati janji, kecuali ada niat tidak baik.

Apakah keduanya untuk melayani masyarakat atau sekedar berkuasa “raja-raja kecil” bisa saja tidak peduli dengan siapa saja wakilnya, hasilnya sama menambah miskinkan Samosir.

Paling krusial memang hubungan antarpartai di Kabupaten Samosir, akibat Pilbup 2020. Dengan adanya KIM dan koalisi lain, bagaimana itu di Samosir? Apakah kepentingan masyarakat Samosir menjadi acuan atau ego partai, sampai sekarang masih menunggu. Kalau kepentingan partai yang menonjol apalagi dibarengi kepentingan penguasa, maka siapa yang sejurus dengan Pilgub Sumut akan menentukan dukungan partai bagi pasangan di Samosir, dan bisa-bisa akan terjadi sinyalemen teman seorang pengamat tentang munculnya sosok “ucok” (uang cukup otak kosong), semoga tidak ada seperti itu.

Kalau yang berperan adalah kemampuan finansial, tamat sudah. Hanya Vandiko dan Freddy bergabung ya akan berhadapan dengan Kotak Kosong, tinggal “sowan” ke juragan perahu, TTR lebih ringan dan tanpa serangan fajar. Mungkin tambah “sewa perahu” saja dan jasa Tim Sukses.

Waktu dua bulan masih lama bagi masyarakat yang menanti pasangan calon bakal pemimpinnya tetapi lebih lama lagi bagi penanti TTR dan serangan fajar apalagi bagi para Tim Sukses. Selamat menanti pemimpin yang takut akan Tuhan.***

*Penulis adalah wartawan senior dan advokat berdomisili di Jakarta.

Pos terkait