Oleh Hojot Marluga
DI bawah langit cerah Kabupaten Samosir, Wakil Bupati Ariston Tua Sidauruk dan Ketua Parsadaan Pomparan Limbong Mulana Indonesia (PPLMI) Bernhard Limbong, melakukan upacara peletakan batu pertama pembangunan Salib Suci “Silang Hangoluan” Limbong Mulana. Peristiwa ini berlangsung di Titik Nol Habatahon Huta Parik Sabungan, Desa Sarimarrihit-Sianjur Mulamula, pada hari Rabu, 12 Maret 2025.
Upacara ini dimulai dengan ritual adat yang dipandu oleh para tetua adat di Kecamatan Sianjur Mulamula. Acara ini dihadiri oleh berbagai tokoh penting, termasuk Ketua DPRD Samosir Nasip Simbolon, Anggota DPRD Pantas Limbong, dan beberapa pejabat pemerintahan lainnya.
Salib Suci “Silang Hangoluan” Limbong Mulana ini direncanakan akan dibangun setinggi 45 meter dan akan menjadi salah satu Salib tertinggi di dunia. Pembangunan ini merupakan inisiasi dari PPLMI, salah satu marga tertua di Kabupaten Samosir.
Wakil Bupati Ariston Tua Sidauruk mengapresiasi pembangunan Salib Suci ini dan berharap bahwa masyarakat Kabupaten Samosir dapat hidup dalam kasih dan saling tolong-menolong. Ia juga mengucapkan terima kasih kepada Ketua PPLMI Bernhard Limbong sebagai inisiator pembangunan Salib ini.
Pembangunan Salib Suci “Silang Hangoluan” Limbong Mulana ini diharapkan dapat menjadi objek wisata religi baru yang berfokus pada aspek spiritual dan keagamaan. Selain itu, pembangunan ini juga diharapkan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat setempat.
Menolak pembangunan Salib
Ternyata pembangunan Salib di Samosir mendapat tanggapan beragam. Ada yang setuju dan ada yang tak setuju. Horas Bangso Batak (HBB) dengan tegas menolak pembangunan Salib Suci “Silang Hangoluan” di Titik Nol Habatakon, Samosir.
Indentitas Batak terus mengalami dinamika. Pun kontroversi situs Titik Nol Habatakon. Pembangunan situs Titik Nol Habatakon di Samosir pada tahun 2022 ternyata tidak berjalan mulus. Meskipun pembangunannya telah disosialisasikan dan digelar seminar nasional, namun Batak di luar Toba kemudian tidak setuju dengan pembangunan situs tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa masih ada perbedaan pendapat dan kepentingan di antara sub-kelompok Batak. Batak di luar Toba mungkin merasa bahwa pembangunan situs tersebut tidak mencerminkan identitas dan kepentingan mereka. Kontroversi ini menunjukkan bahwa identitas Batak masih kompleks dan beragam.
Sejarah mencatat bahwa penyebutan Karo sebagai Batak telah berlangsung selama berabad-abad. Sebelum William Marsden menulis tentang Karau-Karau pada tahun 1783, dan John Anderson pada tahun 1823, praktis semua suku di wilayah tersebut disebut Batak saja.
Perubahan zaman dan perkembangan peradaban manusia menyebabkan perbedaan antar suku menjadi lebih jelas. Populasi meningkat, pengetahuan bertambah, migrasi manusia semakin jauh, dan perbedaan budaya serta adat istiadat semakin melebar.
Pertanyaannya adalah, mengapa Karo disebut Batak? Apakah ini karena kesamaan budaya, adat istiadat, atau bahasa? Ataukah ini karena pengaruh penjajahan dan kolonialisme yang menyebabkan penyebutan yang salah?
Pada awalnya, istilah “Batak” hanya merujuk pada satu kelompok etnis. Namun, seiring waktu, kelompok ini berkembang menjadi beberapa sub-kelompok, yaitu: Karo, Toba, Pakpak, Simalungun dan Mandailing/Angkola.
Selain itu, ada beberapa kelompok lain yang sempat digolongkan sebagai Batak, seperti: Kluet, Singkel dan Gayo. Namun, karena pengaruh Sultan Aceh yang kuat, budaya di wilayah tersebut berbeda dengan wilayah Batak lainnya. Marga-marga di wilayah tersebut tidak berkembang seperti di wilayah Batak lainnya. Cenderung tak menggunakan
marga.
Perkembangan identitas Batak ini menunjukkan bahwa kelompok etnis dapat berkembang dan berubah seiring waktu, dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti budaya, sejarah, dan politik. Pada tahun 1922, Mandailing menjadi salah satu sub-kelompok Batak pertama yang memisahkan diri karena persoalan tanah kuburan. Sementara itu, Karo juga mulai merasa diusik soal budayanya.
Salah satu contoh yang memicu protes dari masyarakat Karo adalah ketika lagu “Oh Turang” disebut sebagai lagu Batak oleh Koes Hendratmo dalam acara “Berpacu Dalam Melodi”. Banyak orang Karo yang protes dan mengklaim bahwa lagu tersebut adalah lagu Karo.
Selain itu, rencana pemberian nama Tahura SM Raja pada taman hutan raya di Tongkeh juga memicu protes dari masyarakat Karo. Akhirnya, muncul semacam gerakan “Karo Bukan Lagi Batak” di awal tahun 2000-an, yang menandai perjuangan masyarakat Karo untuk mempertahankan identitas dan budaya mereka. Termasuk masalah kontroversi pembangunan salib di Samosir tak menjadi perbincangan mereka.
Sejarah Salib
Salib, yang sekarang menjadi lambang Kristen, awalnya tidak memiliki makna yang sama. Salib sebenarnya berasal dari simbol Ikhthus, yang berarti “Ikan” dalam bahasa Yunani. Simbol ini digunakan oleh umat Kristen awal sebagai tanda rahasia untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai pengikut Yesus selama masa persekusi.
Namun, seiring waktu, salib menjadi simbol yang lebih umum dan penting dalam Kristen. Tanda salib, yang dibuat dengan menghubungkan jari-jari tangan atau membuat gerakan salib dengan tangan, menjadi tindakan fisik yang mengingatkan umat Kristen tentang pengorbanan Yesus dan relevansinya dalam kehidupan mereka. Salib kemudian menjadi lambang yang kuat dan penting dalam agama Kristen, melambangkan kasih, pengorbanan, dan keselamatan yang diberikan oleh Yesus.
Adalah Konstantinopel, yang dikenal sebagai Kaisar Konstantin, memainkan peran penting dalam sejarah Kristen. Sebelumnya, dia tidak beragama Kristen, tetapi setelah bermimpi tentang salib, dia menjadi yakin bahwa salib adalah lambang kekuatan dan kemenangan.
Dalam mimpinya, Konstantinopel melihat dirinya memegang salib dan mengarahkannya ke matahari, yang pada saat itu dianggap sebagai Dewa Matahari. Saat dia mengarahkan salib ke matahari, matahari menjadi redup, yang dianggap sebagai tanda kekuatan salib.
Atas dasar mimpinya itu, Konstantinopel memerintahkan pasukannya untuk menempa lambang salib dan menggunakannya sebagai simbol kekuatan dan kemenangan. Kemenangan dalam pertempuran yang berikutnya membuat Konstantinopel menyatakan dirinya sebagai seorang Kristen dan mengakui salib sebagai lambang agama Kristen.
Jadi ada benar seruan untuk menolak pembangunan salib di Samosir, karena bukan identitas Batak secara keseluruhan. Hanya disaat yang sama juga jangan paksakan seluruh suku Batak yang lain setuju Pusuk Buhit Titik Nol Pusat Peradaban Batak. Tetapi jikalau peradaban Titik Nol Batak Toba, pastinya semua setuju.
Pemisahan Identitas Batak
Dengan demikian, sub-kelompok Batak lainnya seperti Karo, Mandailing, Pakpak, Simalungun, dan Angkola mulai memisahkan diri dan mengembangkan identitas mereka sendiri. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka memiliki identitas dan budaya yang unik dan berbeda dari Toba.
Hal ini menandai perubahan dalam dinamika identitas Batak, di mana sub-kelompok lainnya ingin menegaskan keberadaan dan keunikan mereka. Dengan demikian, identitas Batak menjadi lebih kompleks dan beragam, mencerminkan kekayaan budaya dan sejarah masyarakat Batak.
Seiring berjalannya waktu, kelima sub-kelompok Batak mengalami perubahan dalam identitas mereka. Toba menjadi lebih dominan dan sering diidentik dengan istilah “Batak”. Hal ini menyebabkan kekecewaan di kalangan sub-kelompok Batak lainnya, yang merasa identitas mereka telah “ditelan” oleh identitas Toba.
Perubahan ini memicu gerakan pemisahan identitas di kalangan sub-kelompok Batak lainnya. Mereka ingin menegaskan keberadaan dan keunikan mereka, serta mempertahankan identitas dan budaya mereka yang unik dan berbeda dari Toba.
Sekali lagi. Hal ini menyebabkan kekecewaan di kalangan sub-kelompok Batak lainnya. Mereka merasa bahwa identitas mereka telah “ditelan” oleh identitas Toba yang lebih dominan. Orang Toba sendiri lebih sering menyebut diri mereka sebagai “Batak” daripada “Toba”, yang membuat sub-kelompok lain merasa tidak diakui dan dihargai.
Pakpak dan beberapa sub-kelompok Batak lainnya merasa terasing di tanah ulayat sendiri. Perasaan ini memicu konflik dan protes. Demo dan aksi protes lainnya menunjukkan bahwa masyarakat merasa tidak dihargai dan tidak memiliki kontrol atas tanah ulayat mereka.
Selain itu, pernyataan beberapa tokoh masyarakat Simalungun yang menyatakan tidak ada tanah ulayat di Simalungun, melainkan semua milik raja, menambahkan kompleksitas konflik ini. Pernyataan ini dapat memicu perdebatan dan konflik lebih lanjut tentang hak atas tanah dan identitas masyarakat.
Dalam konteks ini, beberapa orang di media sosial telah menyatakan diri bukan Batak, menunjukkan bahwa perasaan terasing dan konflik tentang identitas dan tanah ulayat telah mencapai titik yang lebih ekstrem.
Toba dan Identitas Batak
Toba sendiri tampaknya sangat bangga dengan identitas Batak mereka. Mereka dengan senang hati memperkenalkan diri sebagai Batak, dan semua aspek budaya mereka, seperti lagu, bahasa, adat, aksara, ulos, dan tanah air mereka, semua dikaitkan dengan identitas Batak.
Namun, ironisnya, identitas Toba sendiri malah “hilang” ditelan oleh identitas Batak yang lebih luas. Hal ini menunjukkan bahwa identitas Toba telah menjadi sangat terkait dengan identitas Batak, sehingga sulit untuk membedakan keduanya.
Terjadi perubahan persepsi di kalangan rumpun Batak. Jangan dilupakan, dedengkot Jong Batak Bond berasal dari Mandailing, dan gereja-gereja di Karo, Simalungun, dan Pakpak masih terkait dengan identitas Batak, namun pelan-pelan rumpun di Batak merasa bahwa mereka tidak lagi memiliki kesamaan yang kuat.
Perubahan persepsi ini mungkin disebabkan oleh perbedaan budaya, adat istiadat, dan identitas yang unik di setiap sub-kelompok Batak. Meskipun mereka masih terkait dengan identitas Batak, namun mereka mulai merasa bahwa identitas mereka sendiri tidak lagi diakui dan dihargai.
Dominasi Toba dan Perjuangan Identitas Lainnya
Dominasi Toba dalam identitas Batak semakin menimbulkan masalah. Mereka yang merasa Batak “sejati” memaksakan pandangan bahwa peradaban titik Nol berasal dari Pusuk Buhit, Samosir, yang merupakan wilayah Toba.
Sementara itu, Pakpak dan Simalungun masih berjuang untuk memiliki pahlawan nasional yang dapat menyamai Toba, Karo, dan Mandailing. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada ketidakseimbangan dalam pengakuan dan penghargaan terhadap identitas dan kontribusi dari berbagai sub-kelompok Batak.
Perasaan “bukan Batak” di kalangan sub-kelompok Batak seperti Simalungun dan Pakpak telah memicu rivalitas dan perjuangan untuk mengakui identitas dan kebanggaan mereka sendiri.
Di Simalungun, Tuan Rondahaim Saragih, Raja Raya Namabajan, diperjuangkan sebagai pahlawan nasional. Sementara itu, di Pakpak, Liberty “Tiang” Manik (Siketang) diperjuangkan sebagai pahlawan nasional karena kontribusinya sebagai doktor musik pertama di Indonesia.
Perjuangan ini menunjukkan bahwa sub-kelompok Batak lainnya ingin memiliki representasi dan pengakuan yang sama dengan Toba, Karo, dan Mandailing. Mereka ingin menegaskan kebanggaan dan identitas mereka sendiri, dan tidak ingin lagi dianggap sebagai “bagian” dari identitas Batak yang lebih luas. ***
Penulis adalah jurnalis, pegiat literasi