Mitos Bangsa: LAMA DAN BARU

Shohibul Anshor Siregar (repro)

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Judul di atas saya ambil dari judul tulisan saya akhir tahun lalu pada sebuah koran lokal berjudul “Mitos Bangsa: Lama dan Baru”. Artikel itu adalah refleksi dari sebuah Seminar Internasional Pernaskahan Nusantara yang saya ikuti di Balige, dan yang kali ini lebih fokus membahas naskah kuno Batak. Versi yang sekarang ini adalah hasil salinan dengan sedikit saja perubahan.

Bacaan Lainnya

***

Masih dalam suasana HUT Kemerdekaan RI ke-74, tahun 2019 (21-22 Agustus 2019) Seri V Seminar Internasional Pernaskahan diselenggarakan di Balige,  menampilkan pembicara dalam dan luar negeri yang lebih fokus membahas naskah kuno Batak. Seminar ini menjadi demikian menarik karena ternyata penguasaan naskah kuno Batak ada di tangan orang asing. [1]

Meski semua mereka pandai berbahasa Indonesia dan Batak, tetapi tetap saja terasa aneh bahwa Indonesia yang sudah 74 tahun merdeka masih belum memiliki pakar naskah kuno Batak yang setara, apalagi yang keahliannya melebihi bangsa asing itu. [2] Rupanya tak mudah untuk menegakkan kepala, karena tetap saja residu (sisa) kepenjajahan belum sirna, mungkin sembari merasa rendah diri, juga memandang superior martabat bangsa asing itu. [3] Antara lain disebutkan bahwa naskah-naskah Batak Kuno hanya memuat informasi seputar black magic, white magic, perang (suku), ramalan (parhalaan) dan hal-hal yang identik dengan itu. Tidak ada penuturan tentang sejarah, juga politik dan lain-lain urusan yang menandakan budaya yang lebih tinggi.

Padahal Batak yang mereka teliti dan ceritakan dalam naskah-naskah mereka adalah sukubangsa yang memiliki aksara atau bahkan literasi. Pastilah aksara dan literasi itu adalah sesuatu yang termasuk langka di antara sukubangsa yang ada di seluruh permukaan bumi. Bagaimana kesimpulan seperti itu bisa tak diprotes?

***

Semakin aneh saja ketika mereka benar-benar tak mampu menyebutkan berapa banyak populasi naskah Batak Kuno yang ada di permukaan bumi ini, di mana saja semua itu tersimpan dan di antara keseluruhannya itu, termasuk yang diperkirakan hanya ada 200 di Indonesia, berapa persen yang sudah dibaca dan dipelajari dan oleh siapa saja serta dimana dokumentasi hasilnya disimpan. [4] Lucunya, hampir tak ada orang yang menyadari kesimpulan gegabah bahwa naskah kuno Batak tak memuat informasi kecuali hal-hal yang kurang lebih dapat dikategorikan atau dianggap sebagai atribut primitif belaka. Alangkah ganjilnya dunia akademik abad 21 ini. Ada bayang-bayang tegas kolonialisme yang hadir begitu kejam membungkam nalar. Beberapa torehan lama yang hingga kini diperpegangi banyak orang ialah, bahwa aksara Batak hanya lebih dikenal dan dipergunakan oleh para datu (dukun) dan sama sekali tidak fungsional dalam kehidupan masyarakat secara umum.[5]

*****

Di sini amatlah terasa Indonesia sangat perlu segera “merdeka” agar memperoleh keluasaan yang wajar untuk menerjemahkan identitas dirinya tak terkecuali dengan mengkonstruk berdasarkan keterangan masa lalu yang terdapat pada naskah-naskah kuno tentang dirinya itu. Bahkan di benua lain, termasuk di negeri-negeri yang dihuni oleh para cucu dan cicit dari orang-orang yang dulu telah begitu tega menjajah Indonesia, kesadaran atas kekejian pelanjutan kepenjajahan dalam bentuk apa pun sudah menggelora. Mereka telah sadar hak-hak normatif yang wajib dihargai.

Misalnya bulan Desember 2019 majalah “Volkskunde”[6] akan menerbitkan edisi khusus “Dekolonisasi dan restitusi” atas benda-benda masa lalu dari bangsa-bangsa jajahan. Mereka juga  memonitor diskusi umum yang meluas saat ini tentang dekolonisasi, perbudakan dan apalagi diskusi yang lebih spesifik dalam dunia museum khususnya yang terjadi di Skandinavia, Jerman, Prancis, Inggris, Belgia, Belanda dan negara-negara lain tentang objek kolonial yang disengketakan.

Sangat diperlukan pembukaan wawasan tentang asal-usul benda-benda tersebut (yang dengan tak begitu indah untuk dikenang bagaimana semuanya itu dikirim ke Eropa tanpa persetujuan, atau kompensasi untuk pemiliknya yang sah, selama periode kolonial yang menyakitkan).  Arah diskusi di berbagai negara bekas koloni seperti Kongo, Indonesia, Maroko, Cina, Ethiopia, Benin dan lain-lain mestinya   sangat jelas, untuk menyatakan keinginan mengajukan pendekatan terbaik untuk mendekolonisasi seluruh kekayaan budaya masa lalu itu. Tentu saja masalah etika dan hukum yang kompleks yang terlibat dalam restitusi ini, selain peran perantara budaya sebagai mediator yang memfasilitasi kontak antarbudaya dan mungkin akan sangat lebih baik diperankan oleh badan dunia di bawah PBB.[7]

Demi peradaban abad 21, semua naskah-naskah kuno berikut benda-benda sejarah yang diseberangkan secara illegal ke berbagai negara itu wajib dikembalikan ke pemiliknya, termasuk Indonesia. Orang-orang tertentu boleh-boleh saja was-was jika dikembalikan ke Indonesia akan mengalami perlakuan buruk seperti segera rusak atau bahkan hilang.  Mereka yang pesimis harus disadarkan bahwa adalah kewajiban bagi peradaban abad 21 menjelaskan bahwa seluruh stolen assets wajib dikembalikan kepada yang mustahak tanpa kecuali. [8[

Sebagai pengganti kerugian material dan moral negara-negara yang menguasai stolen assets itu berkewajiban penuh untuk membiayai perawatan dan sistem pemanfaatannya di negara asal dengan menugaskan seluruh ahli dan perangkat teknologinya untuk masa tertentu, katakanlah selama 50 tahun. Jangka waktu itu diperkirakan cukup untuk alih teknologi yang diperlukan. Sebagai negara yang lama dijajah [9] sejarah Indonesia dituliskan oleh bangsa penjajah seenak mereka, sesuai perspektif mereka, dan sesuai dengan kepentingan mereka. Itu dosa yang sebetulnya tak termaafkan. Maka pastilah terjadi distorsi yang sifatnya bisa pendangkalan dan bisa juga manipulasi. [10]

***

Maka sebagai bangsa merdeka dan bekas Negara jajahan, seharusnya Indonesia sudah menyadari, bahwa dalam khazanah studi postkolonialisme, ada beberapa yang bisa kita rujuk dari karya-karya intelektual dunia yang banyak mendorong orang-orang bekas jajahan untuk lebih sadar dan tidak mau lagi didikte oleh penjajah dengan bentuk apa pun. Bagaimana pun juga dunia sangat berterimakasih kepada para tokoh pemikir dalam kajian poskolonialisme  yang menginspirasi  bangsa-bangsa jajahan itu. [11] Dengan hormat pula pemerintahan Indonesia dimohonkan agar  segera mengambil langkah-langkah konkrit dan tegas atas permasalahan ini.

Tentu saja sekaligus harus dinyatakan keberatan atas rencana impor rektor untuk perguruan tinggi Indonesia. Itu mirip dengan gejala parah penyakit tak tersembuhkan sebagai bangsa jajahan (inlanderitas).

Catatan:

[1] Hadir sebagai pembicara Uli Kozok (University of Hawaii, USA), Annabel Teh Gallop (British Library, London), Roberta Zollo (Hamburg, Jerman), Giusy Monaco (Napoli, Italia), dan beberapa pembicara nasional dan lokal.

[2] Bangsa-bangsa asing ini, terutama Eropa, tercatat menorehkan banyak hal buruk di sini, di wilayah bekas jajahan mereka.

[3] Ini bukanlah sebuah  sentimen naif, melainkan kurang lebih sebagai sebuah kesadaran subjektif (yang mudah-mudahan rasional) di hadapan kesemberonoan mereka membuat berbagai kesimpulan yang saya tangkap dalam seminar.

[4] Dalam banyak hal saya akan terus memujikan orang yang semakin berjiwa merdeka seperti Nelson Sihombing dari Humbahas.

[5] Tentu telah banyak peristiwa yang mengingatkan hasil-hasil torehan para penulis sebelum mereka, baik bangsa asing mau pun bangsa Indonesia, yang juga bernada sama. Padahal ketika IL Nommensen belum memutuskan untuk datang ke Toba, sekolah yang didirikannya bersama missionaris lainnya di sekitar Sipirok telah menggunakan aksara Batak untuk menuliskan bahan bacaan pelajaran di sekolah itu. Belakangan Alkitab beraksara Batak juga ditulis pada tahun 1867, bahkan dicetak di Belanda oleh HN van der Tuuk.

[6] Majalah “Volkskunde” didirikan pada 1888 oleh August Gittée dan Pol de Mont. Alfons De Cock menjadi editor pada 1894, yang meninggal pada 1921. Dari 1914 hingga 1920, “Volkskunde” tidak muncul lagi. Setelah itu, manajemen bersama Victor De Meyere, dibantu oleh Jan de Vries dari tahun 1936. Setelah kematian De Meyere (1938), J. de Vries, M. De Meyer, P.J. Meertens dan K.C. Peeters melanjutkan bersama profesor J. Gessler (Leuven) dan P. De Keyser (Ghent). Seri baru dimulai dengan volume ke-43 (1940-41). Para editor terdiri dari (pada tahun 1966) C.C. van de Graft, H. Jamar, P. Lindemans, P.J. Meertens, M. De Meyer, K.C. Peeters, W. Roukens dan H. Stalpaert. Volume berikutnya (1967) para editor dipimpin oleh P.J. Meertens dan K.C. Peeters. Begitulah majalah ini berlanjut ke volume-volume selanjutnya hingga ke-109 tahun 2008.

[7] Pekerjaan serius ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perubahan corak hubungan di desa global dunia (pergeseran ketidaksetaraan, migrasi, pengungsi, wawasan etika baru dan lain-lain yang menjadi atribut internasional) amat meniscayakan dan itu sesuatu hal yang sama sekali tak dapat diabaikan. Dengan semua pertimbangan semacamitu, majalah “Volkskunde” sesungguhnya sedang berusaha mengusulkan diskusi tentang masa depan benda-benda ini dan tentang dekolonisasi koleksi dan sekaligus penghargaan yang pantas atas bangsa-bangsa bekas jajahan. Untuk itulah para editor mencari kontribusi umum dan studi kasus, membahas berbagai aspek (termasuk pro dan kontra) dari dekolonisasi koleksi kolonial, berharap dapat menunjukkan bagaimana koleksi pernah diperoleh dan bagaimana institut dan museum pengumpul berurusan dengan masalah ini saat ini.

[8] Di antara mereka yang berpendapat serupa ialah Robert Sibarani dari USU. Saya menentang pendirian itu dengan alasan penjajah tetap penjajah dan bekas jajahan berhak atas pemulihan termasuk mengambil inisiatif kebijakan progresif bersifat affirmative action dan ini harus menjadi agenda peradaban universal abad ke 21. Tahun 2016 ada contoh tipikal yang luar biasa ketika berlangsung anti corrupotion summit di London. Perdana Menteri Inggeris David Cameron sesumbar mencaci Nigeria sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Dengan tenang Presiden Nigeria Muhammadu Buhori membalas, saya datang ke sini membawa data hasil audit tentang stollen assets (harta jarahan) yang selama beberapa abad dirampok oleh bangsa Eropa dengan logika supremasi kulit putihnya.

[9] Indonesia dipergilirakan (dijajah) oleh Portugis (1509-1595), Spanyol (1521-1692), Belanda (1602-1942), Perancis (1806-1811), Inggris (1811-1816), dan Jepang (1942-1945).

[10] Teringat suatu ketika (2006) Anthony Reid mengungkapkan kecurigaannya terhadap sejarah itu yang ia kemukakan dalam makalahnya berjudul “Is There a Batak History?”

[11] Diantara tokoh terkemuka ialah Edward Said (Orientalism, 1979; “Peace and Its Discontents: Essays on Palestine in the Middle East Peace Process”, 1996 dan lain-lain) dan Gayatri Chakravorty Spivak (“Can the Subaltern Speak?: Reflections on the History of an Idea”, 2010.  “A Critique of Postcolonial Reason: Toward a History of the Vanishing Present”, 2014; dan yang lain). ***

Pos terkait