Bahkan langkah keras dalam mengendalikan virus penyebab penyakit COVID-19 ini, termasuk lockdown, tak akan bisa menyelamatkan 1,86 juta nyawa di seluruh dunia sepanjang tahun ini.
Baru prediksi memang. Tetapi temuan Imperial College itu menjadi pengingat agar manusia waspada dan bersiap.
Lupakan teori konspirasi yang lebih memuaskan penyangkalan terhadap fakta karena kenyataannya virus ini kian cepat menyebar ke seantero jagat.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyebutkan saat awal pandemi ini muncul di China akhir tahun silam, perlu waktu 67 hari untuk mencapai jumlah infeksi 100.000 orang di seluruh dunia. Tapi untuk 100.000 kedua hanya butuh 11 hari dan hanya empat hari untuk 100.000 ketiga.
Sampai Senin 30 Maret 2020 pukul 09.50 WIB, mengutip Corona Resource Center dari Universitas Johns Hopkins, 721.817 terinfeksi dan 33.968 nyawa direnggut virus ini di seluruh dunia. 1.285 kasus di antaranya ada di Indonesia dengan 114 meninggal. Kasus tertinggi ditempati AS dengan 142.326, sedangkan Italia menjadi tempat kematian tertinggi dengan 10.779.
Prediksi Imperial College itu paralel dengan akselerasi jumlah terinfeksi di dunia sehingga tak masuk akal jika manusia masih menganggap enteng, apapun alasannya.
Semua negara bertindak. Dari negara teokratis seperti Arab Saudi sampai Italia yang liberal hingga demokrasi terbesar India sampai komunis otoritarian seperti China. Semua menerapkan lockdown, dengan menutup akses ke situs-situs wabah dan pusat-pusat kerumunan termasuk pasar, sekolah, kantor, tempat hiburan dan tempat ibadah, sampai jaga jarak sosial, yang dipadankan dengan pola hidup higienis.
Lockdown dianggap lebih efektif karena pada era ketika masyarakat global sudah begitu tak bersekat, siapapun berisiko ditulari virus yang fatal bagi lansia dan mereka yang mengidap penyakit berat itu.
India, Rusia dan Afrika Selatan adalah negara besar kesekian yang menerapkan lockdown. Namun tak semua negara bergegas mengadopsinya, contohnya Amerika Serikat.
Berbeda-beda
Lockdown sendiri berbeda-beda. Saudi menerapkan jam malam di Mekah, Madinah dan Riyadh. Italia mengurung Lombardia yang merupakan wilayah terparah. Drone dan data ponsel sampai digunakan untuk melacak pergerakan warga. Hanya ada suara megafon perintah tetap diam di rumah dan sirene di jalanan.
China menjadi yang paling keras menerapkan lockdown dalam skala yang mungkin paling ideal. Ini karena China memiliki “kemudahan” yang tak dipunyai negara-negara demokrasi sehingga leluasa melakukan “pemaksaan” pada tingkat yang paling esktrim sekalipun, seperti dilakukan di Wuhan, tempat asal virus ini.
Semua akses ditutup total, tak ada angkutan umum, pun kendaraan pribadi. Semua toko, kecuali toko sembako dan farmasi, tutup. Tak boleh keluar rumah kecuali ada alasan jelas. Dua bulan setelah itu China tak pernah lagi melaporkan kasus baru virus corona.
Semua beda pola, tetapi ada dua kesamaan umum antara semua itu.
Pertama, lockdown dibarengi tindakan keras. Italia mengenakan denda dan ancaman penjara untuk pelanggar lockdown. Pun negara lain seperti Vietnam, Malaysia dan Singapura.
Di AS ketika beberapa negara bagian mengenakan aturan pembatasan pergerakan manusia yang memaksa dunia usaha tutup, Jaksa Agung William Barr mengancam memenjarakan mereka yang menumpuk barang dan mempermainkan harga.
Kedua, negara yang efektif menerapkan lockdown umumnya sudah siap mengantisipasi terhentinya kegiatan usaha akibat lockdown bahkan ketika perekonomian sudah sempoyongan oleh rusaknya sistem pasokan dan permintaan akibat virus corona.
Saat lockdown, kehidupan normal berhenti. Restoran, sekolah, kampus, kantor, toko, pasar, bahkan tempat ibadah, tutup sementara, demi mencegah kerumunan besar yang bisa mempercepat penularan COVID-19. Barang tersendat, pembeli berkurang. Dunia usaha pun terganggu.
Jika hal itu terjadi berbulan-bulan, maka habislah semuanya. IMF sampai memprediksi resesi lebih mengerikan ketimbang Depresi Besar 1930-an tengah mengintip dunia.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva menyebutkan terhenti mendadak perekonomian membuat sistem global harus memompakan dana 2,5 triliun dolar AS (Rp40 ribu triliun) dolar ke pasar ekonomi berkembang seperti Indonesia. Dan pada pekan-pekan terakhir sudah 83 miliar dolar AS (Rp1.328 triliun) investasi asing kabur meninggalkan ekonomi berkembang.
Untuk itulah, sejumlah negara sudah bersiap menghadapi dampak ekonomi dari lockdown. Dan mirip virus, dampak ekonomi krisis juga menular yang berpotensi merusak tatanan nasional, bahkan gejolak sosial.
Bank sentral seluruh dunia saja sampai serempak menurunkan secara drastis tingkat suku bunga untuk mencegah dunia usaha terhenti karena dunia usaha yang mati sama artinya dengan pintu menuju gejolak, termasuk konflik sosial.
Ongkos ekonomi
AS adalah di antara yang menyadari hal ini. Dalam tempo terbilang singkat, mereka menyepakati UU paket penyelamatan ekonomi dari dampak krisis virus corona senilai 2 triliun dolar AS (Rp32.019 triliun).
Lewat UU ini, setiap keluarga Amerika mendapatkan santunan tunai 3.400 dolar AS (Rp54 juta). 100 miliar dolar AS (Rp1.600 triliun) digelontorkan untuk rumah sakit-rumah sakit dan fasilitas-fasilitas kesehatan yang sangat membutuhkan peralatan medis dalam perang melawan pandemi.
500 miliar dolar AS (Rp8.004 triliun) lainnya dialirkan untuk korporasi-korporasi besar termasuk industri penerbangan yang paling terpukul oleh larangan perjalanan demi memangkas mata rantai penyebaran virus. 377 miliar dolar AS (Rp6.035 triliun) guna membuat UKM tetap hidup.
AS juga berusaha mengaktifkan UU Produksi Pertahanan yang memaksa swasta, khususnya yang mendapatkan dana talangan dari paket darurat itu, guna memproduksi kebutuhan-kebutuhan vital medis seperti diinginkan Presiden Donald Trump terhadap raksasa otomotif General Motors yang berusaha dia paksa untuk membuat ventilator kesehatan.
Dari fakta-fakta itu, maka ada dua hal besar yang mesti disiapkan Indonesia jika ingin menerapkan lockdown.
Pertama, Indonesia harus siap menerapkan tindakan keras terhadap siapapun yang melanggar lockdown, termasuk menghukum yang mencari keuntungan dari sistem ekonomi yang lumpuh karena epidemi atau memaksa dunia usaha membuat produk-produk medis penting dalam perang melawan COVID-19.
Seandainya pemerintah siap, maka kesiapan itu mesti beresonansi dengan kesiapan masyarakat, termasuk asistensi dunia usaha. Contoh mutakhir akibat buruk dari lockdown yang tergesa-gesa adalah India ketika kaum miskin kaget dan tak siap menghadapi lockdown, sampai kemudian terjadi kekacauan.
India lupa mereka terlalu besar dan terlalu rumit untuk disamakan dengan Italia, apalagi dengan Singapura, pun tak mungkin disandingkan dengan China yang otoritarian yang nyaris tak memiliki kesulitan dalam “mendisiplinkan” masyarakatnya karena sistem tata negaranya memang menuntut keseragaman total yang tak sulit sekali didapatkan pada masyarakat demokratis seperti India dan Indonesia.
Kedua, Indonesia perlu menyiapkan kompensasi besar guna menangkis efek negatif berhentinya nadi ekonomi akibat tutupnya hampir semua kegiatan ekonomi karena lockdown, termasuk penduduk miskin yang menjadi kelompok paling rentan.
Tanpa lockdown nasional saja, AS mengalokasikan 20 persen PDB-nya untuk memerangi dampak pandemi, khususnya demi menjaga dunia usaha tetap beroperasi, mencegah banjir pengangguran, dan menyantuni mereka yang tak berdaya menghadapi krisis virus.
Bahkan Iran, enggan menerapkan lockdown karena tahu ekonominya yang terborgol sanksi internasional akan sangat kesulitan mengatasi biaya ekonomi dari lockdown, apalagi ketika negara itu menghadapi polarisasi politik yang tajam di dalam negeri. Sedangkan Italia mengucurkan paket darurat 25 miliar euro (Rp454 triliun), sekalipun kebutuhan idealnya 100 miliar euro (Rp1.816 triliun).
Karantina wilayah
TNI dan Polri mungkin amat siap mendisiplinkan masyarakat untuk patuh pada aturan guna menghindari penyebaran virus, tetapi tetap harus segera dibarengi dengan prakarsa-prakarsa legislasi yang memayungi langkah itu.
Di beberapa negara seperti AS, tak cuma eksekutif yang sibuk, legislatif juga proaktif memperkuat legislasi guna mencegah dampak lebih buruk virus corona terhadap kehidupan masyarakat dengan membuat landasan hukum untuk tindakan-tindakan tegas dalam menghentikan virus corona, serta kaitannya dengan jaring pengaman bisnis dan sosial.
Indonesia mungkin sudah disarankan mengeluarkan paket darurat serupa seperti AS. Namun Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat krisis moneter 1998 dan kemudian bailout Bank Century pada 2008, yang keduanya terjadi saat sistem ekonomi global diguncang krisis dan lalu menjadi skandal politik, sepertinya menciptakan trauma bagia para penguasa di negeri yang kenyataan faktual dan legal sering dikalahkan persepsi dan sentimen ini.
Kalaupun langkah itu ditempuh maka konsultasi intensif dan substantif namun cepat seperti terjadi di Kongres AS mungkin bisa memutus trauma itu.
Lain dari itu, tidak seperti Donald Trump di Amerika Serikat atau Presiden Emmanuel Macron di Prancis yang sama-sama berusaha terpilih kembali, Presiden Joko Widodo tidak dihadapkan kepada masalah elektabilitas sehingga mungkin bisa lebih lepas dalam berkebijakan.
Namun tetap saja, mengambil langkah-langkah ketika ekonomi yang sudah tertekan karena rupiah yang jatuh sehingga memaksa koreksi besar terhadap neraca pembayaran dan asumsi anggaran, derasnya arus modal keluar, dan kemungkinan mandeknya output nasional akibat terganggunya arus pasokan dan permintaan, telah memperberat dan memperumit langkah yang mau tak mau harus diambil.
Mungkin praktik dan konsekuensi lockdown di berbagai negara, bisa menjadi faktor sejumlah negara seperti Indonesia enggan menerapkan lockdown.
Menggeneralisasi semua negara tentu tidak terlalu tepat, karena, misalnya, Indonesia lebih besar dari Italia, baik dari wilayah maupun penduduk, apalagi dibandingkan dengan Singapura, sehingga kompleksitasnya juga lebih besar.
Indonesia juga tak seperti China yang dengan otoriterismenya lebih gampang mengambil langkah-langkah paling ekstrem sekalipun.
Seandainya Indonesia hanya sebesar Singapura atau seotoritarian China yang tak mungkin dimaui Indonesia, mungkin akan lebih mudah bagi Indonesia menempuh langkah-langkah radikal seperti lockdown total.
Namun di balik itu semua, masih ada sedikit opsi yang tersedia, misalnya karantina wilayah. Prakarsa yang sempat diusulkan Donald Trump di beberapa negara bagian di AS tetapi kemudian ditariknya lagi itu, mungkin bisa diterapkan di Indonesia.
Tetapi, menaksir dan menyiapkan ongkos ekonomi serta menegakkan aturan demi efektifnya langkah meredam penyebaran virus corona adalah sama krusialnya dengan karantina itu sendiri, selain tentunya menentukan skala prioritas kepada daerah-daerah padat penduduk seperti yang dilakukan AS terhadap New York atau Italia terhadap Lombardia.