Saut Marasi Manihuruk
SEJAK COVID-19 menginfeksi warga global, kita telah belajar banyak hal dari keadaan ini. Kita belajar secara kognisi, afeksi, dan psikomotorik dalam dimensi pengetahuan yang terdiri dari fakta, konsep, prosedur, dan metakognisi (taksonomi Bloom).
Kita mulai belajar apa itu OTR, OTG, ODP, PDP, APD, terpapar, negatif, positif, dan lain – lain dalam dimensi pengetahuan faktual. Kita mulai belajar asal muasal keluarga COVID-19 dalam dimensi pengetahuan konseptual. Kita mulai belajar apa itu protokol dalam dimensi pengetahuan prosedur pada saat melakukan sesuatu di lapangan. Kita mulai belajar bagaimana mencegah dan mengatasi wabah COVID-19 secara efektif dan efisien dengan metakognisi kita.
Namun sadarkah kita bahwa kita sesungguhnya belajar dari semua keadaan ini?
Lebih jauh, secara kognitif, sudahkah kita mengoptimalkan aspek intelektual kita secara positif dalam ungkapan diri sehari-hari? Secara afektif, sudahkah kita mengafeksi dengan mengendalikan sikap, emosi, dan kemampuan adaptasi atas apa yang terjadi hari ini untuk pembaikan keadaan? Secara psikomotorik, sudahkah kita bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah yang diberlakukan dalam perilaku hidup standar di sekitar kita?
Jika belum, itu bukan berarti gagal belajar, hanya butuh waktu lagi untuk memaknai apa yang terjadi di sekitar secara lebih cerdas daripada sebelumnya.
Refleksi, dalam pembelajaran kontekstual, mungkin pilihan kata yang cocok untuk keadaan kita saat ini, yaitu melalui masa-masa sulit dengan tidak takut atau panik namun tetap menggunakan akal dan budi dengan selalu bertanya (questioning) dan mencarikan jawaban (reflecting) sebagai proses belajar sepanjang hayat untuk menanggapi hal-hal yang terjadi di sekitar kita.
Dalam konteks wabah COVID-19, marilah kita belajar dari ragam situasi dan keadaan serta emosi sosial atau kondisi batin sekitar kita untuk mengaktualisasikan yang terbaik dari diri kita dalam mencermati keadaan untuk tetap belajar dan belajar dari keadaan. ***